Jauh Sebelum Kartini, Perempuan Jawa yang Dikenal Lembut Ternyata Tak Selamanya Tepat

Kredit Gambar: Sketsa dari 'Wanita Perkasa di Jawa, Abad ke-18-19' oleh Peter Carey dan Vincent Houben, asliny
Kredit Gambar: Sketsa dari 'Wanita Perkasa di Jawa, Abad ke-18-19' oleh Peter Carey dan Vincent Houben, aslinya dibuat pada era Mangkunegara VII, bersumber dari Perpustakaan Rekso Pustoko, Mangkunegaran.
0 Komentar

SELALU ada nuansa lain di bulan April. Berbagai sekolahan, instansi pemerintah, swasta, ataupun organisasi kemasyarakatan berlomba-lomba mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati Hari Kartini.

Sebagai puncaknya di tanggal 21, kaum Hawa mengenakan kain kebaya dan sanggul secara serempak.

Fenomena ini sudah menjadi tradisi bertahun-tahun lamanya. Tak ada yang tak mengenal Kartini. Hampir seluruh anak bangsa menjadikan Kartini sebagai satu-satunya pahlawan tokoh pergerakan perempuan Indonesia. Sosoknya menjadi fenomenal, menjadi ikon kemajuan perempuan Indonesia.

Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan

Mengutip Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford dalam buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa abad XVIII-XIX—”boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri”.

Secara umum kaum Belanda mencirikan orang Jawa sebagai “bangsa yang paling lembut di dunia” (de Javaan als de zachste volk ter aarde), yaitu suatu masyarakat yang terkenal amat halus dan penurut. Peran perempuan Jawa kurang ditonjolkan dalam babad-babad yang menceritakan sejarah tanah Jawa.

Mereka umumnya hanya dicitrakan sebagai pemelihara pertalian wangsa. Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk melanjutkan keturunan.

Peter Carey mengatakan perempuan dipergunakan untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga terkemuka kerajaan.

Peran tersebut diturunkan dengan cara dengan mengikat istana dalam suatu jaringan intim dengan dunia pedesaan Jawa melalui ikatan kekeluargaan yang luas.

Namun, citra perempuan Jawa itu tak selamanya tepat. Ada fakta yang beluk tergali mengenai perempuan Jawa seabad sebelum Kartini yang patut diketahui, dan jika sejarah melihat secara jujur, sebenarnya banyak sekali perempuan Indonesia yang hebat, setara ataupun bahkan melebihi Kartini.

Jika Kartini dielu-elukan karena pemikirannya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan. Maka, jauh sebelum Kartini, salah satu hal unik yang belum banyak diketahui orang adalah adalah laskar perempuan di keraton Jawa tengah selatan.

Baca Juga:Tom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan KemenperinPasang Boks Tambahan Tampung Barang Bawaan Saat Mudik Lebaran, Tips Bagi Pengendara R2

Keberadaan “korps Srikandi” ini terkuak berkat buku harian yang ditulis oleh anggota prajurit estri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegoro I (Raden Mas Said, bertahta 1757-95).

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 mencatat adanya gambaran menarik tentang munculnya Korps Srikandi Surakarta.

0 Komentar