GERAKAN perjuangan SIS ALJUFRI, bila ditilik mulai dari didirikannya Lembaga Pendidikan Alkhairaat pada tahun 1930 hingga wafatnya pada tahun 1969.
Tak dapat dipungkiri bahwa perjuangan SIS ALJUFRI melewati masa-masa perjuangannya mulai dari penjajahan kolonial Belanda (Tahun 1930-1942 M), Jepang (Tahun 1942-1945 M) dan pemerintahan NIC sampai fase dimana Negara Indonesia masih mencari jati diri sebagai suatu bangsa (Tahun 1945-1966 M) hingga Masa Orde Baru (Tahun 1966-1969/1998 M).
SIS ALJUFRI melalui lembaga pendidikan Alkhairaat tidak hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, tetapi juga sebagai alat dan basis perlawanan terhadap penjajah dikala itu, rasa cinta tanah air Indonesia sebagai tanah kelahiran ibunya dapat dilihat dalam gubahan syair-syair beliau yang membangkitkan semangat nasionalisme kepada murid-muridnya untuk melawan penjajah.
Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan
SIS ALJUFRI melalui lembaga pendidikan Alkhairaat dan murid-muridnya bersama tokoh-tokoh pejuang yang tergabung dalam aksi-aksi melawan agresi militer yang dikenal dengan gerakan bawah tanah “Grilya Kilat” dan barisan laskar merah putih merupakan bukti atas perjuangannya merebut kemerdekaan.
Begitu juga kepiawaian sikap nasionalisme kebangsaan SIS ALJUFRI mampu mengkonsolidasi tokoh-tokoh politik dan raja-raja untuk menyatakan sikap bersatu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kawasan Indonesia Timur.
Atas jasa-jasa SIS ALJUFRI, Pemerintah melalui petikan Keputusan Presiden Nomor : 53/TK/Tahun 2010 menganugerahkan “Bintang Maha Putra” ADIPRADANA.
Cendikiawan Muslim KH. Ahmad Baso menceritakan perjuangan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri dalam menjaga prinsipnya. Dia juga menilai Habib Idrus memiliki keteguhan hati tak tergoyahkan meski ditawari bergepok-gepok uang dan rayuan jabatan.
Ahmad Baso menceritakan Habib Idrus merupakan Mufti dan Qadhi di Tarim, Hadramaut, Yaman. Namun, di usia 25 tahun, Habib Idrus melepaskan gelar itu karena merasa tak cocok.
Usut punya usut, kerelaan melepas jabatan itu berasal sikap politiknya yang menentang penjajahan Inggris di Negeri Teluk Aden.
Usai drama itu, Sang Sayid memilih mengembara ke timur. Dia bertolak ke Indonesia yang terletak 8 ribu kilometer jauhnya dari kampung halaman.
Baca Juga:Tom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan KemenperinPasang Boks Tambahan Tampung Barang Bawaan Saat Mudik Lebaran, Tips Bagi Pengendara R2
Habib Idrus berbekal wasiat dari gurunya, yakni jika dalam perantauan menemukan aroma yang sama dengan tanah bekal, maka itulah tanah yang penuh dengan berkah.