WARGA yang tinggal di depan Stasiun Lempuyangan menolak rencana revitalisasi PT Kereta Api Indonesia (KAI) terhadap rumah yang mereka tinggali. Lokasi ini tepatnya berada di RT 2, RW 1, Kelurahan Bausasran, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Warga memasang spanduk penanda bertulis “Tanah ini milik Kasultanan Ngayogyakarta” pada setiap rumah yang diklaim oleh PT KAI. Warga juga membentangkan spanduk bertulis “Pejah Gesang Nderek Sultan”, yang artinya hidup mati ikut Sultan.
Ketua RW 01 sekaligus warga terdampak, Antonius Yosef Handriutomo, menyebut ada 14 rumah yang diklaim sebagai aset PT KAI berdasar Palilah yang ditandatangani oleh GKR Mangkubumi sekitar Oktober 2024. Namun, warga yang tinggal di rumah itu memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia.
Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan
Palilah dan SKT, memiliki kedudukan setara. Keduanya berada satu tingkat di bawah status Tanah Kekancingan, sebab tanah yang dipersengketakan itu merupakan Sultan Ground (SG). Dengan demikian, Anton dan warga lainnya menolak digusur oleh PT KAI.
“Jelas kami keberatan, memang kami sampah dibuang begitu saja,” ujar Anton, ditemui di rumahnya jalan Lempuyangan No 20, Kelurahan Bausasran, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta pada Rabu (9/4/2025).
Legalitas SKT yang dimiliki oleh Anton dan warganya pun melekat pada hukum. Mereka membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tiap tahun. Selain itu, 14 rumah yang diklaim oleh PT KAI merupakan bangunan warisan budaya.
“Yang kami rawat dan kami benahi [pakai dana pribadi] ketika mengalami kerusakan seperti gempa bumi dan puting beliung,” ucap Anton.
Kemelekatan warga terhadap 14 rumah yang diklaim oleh PT KAI, kata Anton, juga berkaitan dengan penghasilan warga. Mayoritas mereka membuka lahan pekarangan untuk jasa parkir dan rental kendaraan.
“[Sebanyak] 14 rumah di sini sebagian ada yang berpenghasilan dari parkir, pasti berdampak,” sebutnya.
Fakta, warganya yang hanya menaruh pendapatan dari jasa parkir dan rental, tidak memiliki penghasilan yang tinggi. Terlebih, jika digusur dan harus mencari hunian baru di Kota Yogyakarta yang harga tanahnya terbilang tinggi. Ditambah pula oleh kenangan rumah yang menjadi tempat lahir dan warga bertumbuh, karena mereka sudah tinggal puluhan tahun di sana.