Jangan Salahkah Artis Jadi Pelayan Publik

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Fenomena artis menjadi pejabat memiliki manifestasi yang beragam di berbagai konteks nasional.

Amerika Serikat memiliki sejarah panjang selebriti memasuki politik, dengan Ronald Reagan—mantan aktor Hollywood—menjadi presiden pada tahun 1980-an.

Tren ini mencapai puncak baru dengan terpilihnya Donald Trump, seorang pengusaha dan bintang reality show, sebagai presiden pada tahun 2016.

Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan

Kasus Trump menggambarkan bagaimana ketenarannya di televisi dan media sosial dapat dikonversi menjadi momentum politik yang kuat, menantang konvensi politik tradisional.

Di Filipina, transisi dari dunia hiburan ke politik telah menjadi jalur karir yang hampir terlembagakan. Dari Joseph Estrada hingga Manny Pacquiao, selebriti Filipina telah secara konsisten memperoleh jabatan publik tingkat tinggi.

Fenomena ini mencerminkan relasi yang erat antara industri hiburan dan politik di negara tersebut, serta pentingnya ikatan emosional dengan pemilih dalam sistem patronase politik.

Indonesia telah menyaksikan gelombang artis memasuki politik, terutama setelah era Reformasi. Dari legislator nasional hingga kepala daerah, artis Indonesia telah menggunakan popularitas mereka untuk memperoleh posisi politik.

Fenomena ini sering dikaitkan dengan sistem pemilihan langsung yang memungkinkan politisi populis melewati struktur partai tradisional dan berhubungan langsung dengan pemilih.

Fenomena ini mengundang publik merefleksikan hubungan yang berevolusi antara kapitalisme dan demokrasi. Dalam sistem kapitalisme lanjut, logika pasar semakin memengaruhi proses demokrasi, dengan popularitas menjadi komoditas politik yang diperjualbelikan melalui mekanisme pemilihan.

Pertanyaan kritisnya apakah ini merepresentasikan adaptasi yang sehat dari sistem demokratis terhadap realitas budaya kontemporer, atau merupakan tanda degenerasi proses demokratis menjadi ekstensi dari logika pasar.

Baca Juga:Tom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan KemenperinPasang Boks Tambahan Tampung Barang Bawaan Saat Mudik Lebaran, Tips Bagi Pengendara R2

Sistem politik mungkin perlu mengembangkan mekanisme yang lebih efektif untuk memastikan bahwa kandidat dari latar belakang selebriti memiliki kompetensi minimal dalam tata kelola

Ini bisa mencakup persyaratan pelatihan, keterlibatan dalam struktur partai sebelum pencalonan, atau bentuk-bentuk penilaian kualifikasi lainnya.

Masyarakat perlu mengembangkan literasi media yang lebih kuat untuk mengevaluasi kandidat politik secara kritis, terlepas dari status selebriti mereka.

Pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pentingnya evaluasi berbasis kebijakan terhadap kandidat politik dapat membantu menyeimbangkan dampak popularitas selebriti dalam proses demokratis.

0 Komentar