Jangan Salahkah Artis Jadi Pelayan Publik

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Transisi selebriti ke dunia politik bukanlah fenomena baru, namun intensitas dan skalanya telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir.

Di berbagai negara, dari Amerika Serikat hingga Filipina, dari India hingga Indonesia, figur-figur dari dunia hiburan semakin banyak yang mencalonkan diri dan memenangkan jabatan publik.

Fenomena ini memiliki beberapa karakteristik mendasar. Pertama, Artis membawa modalitas utama berupa ketenaran dan pengakuan publik yang telah dibangun selama karir di industri hiburan.

Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan

Modal popularitas ini memberikan keuntungan signifikan dalam sistem pemilihan demokratis yang sering kali dipengaruhi oleh visibilitas dan pengenalan nama.

Seorang artis tidak perlu membangun pengenalan publik dari awal—sebuah proses yang memakan waktu dan sumber daya bagi politisi tradisional.

Kedua, Banyak artis yang beralih ke politik membangun narasi transformatif yang menekankan perubahan identitas dari penghibur menjadi pelayan publik.

Narasi ini sering membingkai transisi mereka sebagai “panggilan” atau “tanggung jawab” untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan cara yang lebih bermakna.

Transformasi ini biasanya direpresentasikan melalui perubahan citra publik yang mencolok—dari gaya berbusana hingga cara berbicara—untuk memproyeksikan gravitas dan kredibilitas politik.

Ketiga, Pengalaman di dunia hiburan memberikan artis keterampilan performatif yang sangat relevan dalam politik era media.

Kemampuan untuk berbicara di depan umum dengan meyakinkan, mengelola citra publik, dan mengkomunikasikan pesan dengan cara yang resonate secara emosional adalah kualitas yang sangat berharga dalam kampanye politik.

Baca Juga:Tom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan KemenperinPasang Boks Tambahan Tampung Barang Bawaan Saat Mudik Lebaran, Tips Bagi Pengendara R2

Dalam era politik yang semakin “dipanggungkan,” batas antara hiburan dan komunikasi politik semakin kabur.

Fenomena artis menjadi pejabat dapat dianalisis sebagai bentuk akumulasi kapital dalam konteks demokrasi. Dalam kerangka ini, popularitas adalah bentuk kapital yang dapat dikonversi menjadi kekuasaan politik melalui mekanisme demokratis.

Dalam sistem kapitalisme lanjut, popularitas telah menjadi komoditas yang dapat diukur, diperdagangkan, dan dikonversi ke dalam berbagai bentuk nilai.

Industri hiburan menghasilkan “selebriti” sebagai produk utamanya, menciptakan individu dengan nilai pasar yang dapat diukur berdasarkan jumlah penggemar, pengikut media sosial, dan kemampuan untuk menarik perhatian publik.

0 Komentar