Jangan Salahkah Artis Jadi Pelayan Publik

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

PPP, bahkan juga mendompleng popularitas Rhoma Irama pada 1970-an (baru pada 1997 sang Raja Dangdut jadi caleg).

Namun, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Suryadi kala itu, malah sudah mengusung seniman/artis sebagai caleg yang diusung ke parlemen–mirip-mirip strategi PKI pada 1955.

Harus diakui, PDI selalu di bawah bayang-bayang dominasi Golkar yang kerap jadi pemenang pemilu sepanjang Orba. Makanya, pada Pemilu 1992, PDI menaruh dua nama artis untuk menempati kursi parlemen.

Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan

Hasil Pemilu 1992 menempatkan 56 kursi DPR RI bagi PDI. Dua di antara kursi tersebut yang menempati adalah artis, yakni Guruh Irianto Sukarno Putra dan Sophan Sophian.

Guruh, sudah dikenal luas sebagai musisi dan komposer yang kondang pada 1970-an. Album studio Guruh Gipsy yang ia garap bersama empat Nasution bersaudara: Keenan, Gauri, Oding dan Debby, disebut-sebut menjadi album musik terbaik sepanjang sejarah di Indonesia.

Sementara Sophan Sophian, sudah sejak 1950-an membentuk band bersama Tonny Koeswoyo (sebelum bikin Koes Plus) dan sepanjang 1970-an jadi salah satu aktor yang paling aktif membintangi film-film nasional.

Mengapa orang-orang dengan status sosial yang aneh-aneh itu berani mencalonkan diri sebagai pelayan publik? Ya karena mereka memiliki apa yang disebut oleh sosiolog klasik, Max Weber, sebagai otoritas kharismatik. Mereka memiliki pengaruh pada massa yang mengagumi mereka. Kharisma enggak hanya persoalan sosoknya, melainkan persoalan pengakuan dan kekaguman masyarakat akan sosok itu. Sehingga enggak segan-segan mereka memberanikan diri untuk mencalonkan diri menjadi pelayan publik.

Jadi meskipun enggak mempunyai kompetensi yang memadai, asalkan memiliki pengaruh, entah itu buruk atau enggak, pada suatu komunitas masyarakat, di sistem demokrasi negara ini dipersilakan untuk jadi caleg, nyalon pemimpin, bahkan nyapres.

Jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri, Socrates sebenarnya sudah wangi-wanti, perihal demokrasi ini yang hanya mengandalkan suara terbanyak. Sehingga siapa pun bisa menjadi pemimpin, termasuk orang goblok sekalipun. Padahal, seorang pemimpin itu harus berpendidikan, memiliki kompetensi, bahkan pengalaman yang memadai.

Pertanyaannya, bagaimana popularitas selebriti dikonversi menjadi modal politik dan mencerminkan evolusi sistem demokrasi di era kapitalisme lanjut.

0 Komentar