Kebijakan Resiprokal Tarif, Alumni UGM: Jika Trump Tidak Waspada Indonesia Berkiblat ke Tiongkok

Prabowo Subianto bersama Xi Jinping menyaksikan penandatanganan 7 kesepakatan kerja sama antara Indonesia dan
Prabowo Subianto bersama Xi Jinping menyaksikan penandatanganan 7 kesepakatan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok. (Dok. Muchlis Jr-Biro Pers Sekretariat Presiden)
0 Komentar

“Saya mengamati bahwa Bank Indonesia dan the People’s Bank of China (PBOC) pun sepakat memperbarui perjanjian bilateral pertukaran mata uang lokal atau Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) untuk jangka waktu 5 tahun ke depan,” ujar alumni UGM 1996 ini.

“Dedolarisasi tak terlalu pokok buat Indoensia karena kita sudah bisa lakukan direct transaction dengan China,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Heru melihat seharusnya Trump tak perlu khawatir akan penggunaan mata uang lokal ini. Pasalnya, kontribusi dolar dalam transaksi global masih mencakup sekitar 80%.

Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan

Heru mengatakan bahwa kebijakan tarif proteksionis Trump berpotensi menggeser persepsi Indonesia terhadap Amerika Serikat sebagai panutan dalam demokrasi dan ekonomi.

“Kebijakan tarif Presiden Donald Trump sedikit banyak telah mengubah pandangan pemerintah Indonesia atas Amerika Serikat. Amerika Serikat saat ini sulit dijadikan sebagai panutan demokrasi dan juga ekonomi,” ujarnya.

Untuk itu, Heru menekankan pentingnya koordinasi internal pemerintah agar ada kesamaan pandangan dalam menyikapi kebijakan ekonomi AS tersebut. Ia menyarankan agar seluruh elemen nasional, kementerian, dunia usaha, akademisi, hingga media massa dikoordinasikan dalam satu pendekatan strategis.

Di tengah situasi ini, nasionalisme ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh, mendorong upaya kemandirian nasional dan penguatan kerja sama ekonomi regional. Menurutnya, Indonesia bisa lebih memprioritaskan kerja sama dalam lingkup AFTA, ASEAN+3, CAFTA, dan RCEP yang dinilai lebih moderat dan stabil dibanding Amerika Serikat.

“Tidak mustahil, akan muncul kecenderungan Indonesia untuk mengutamakan kerja sama yang telah lama berdiri yang semangat ekonominya lebih moderat daripada Amerika Serikat,” jelasnya.

Ia juga menilai bahwa masyarakat Indonesia cenderung akan memilih produk impor dari negara-negara lain seperti Uni Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, selama produk tersebut memiliki daya saing tinggi.

Sebagai langkah konkret, Heru menyarankan agar Indonesia segera menyiapkan delegasi tingkat tinggi untuk berunding langsung dengan pemerintahan AS, demi mendapatkan konsesi yang melindungi kepentingan Indonesia, terutama pada produk-produk padat karya dan berbasis teknologi.

Baca Juga:Tom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan KemenperinPasang Boks Tambahan Tampung Barang Bawaan Saat Mudik Lebaran, Tips Bagi Pengendara R2

Heru turut memperingatkan bahwa jika Turmp tidak merespons negosiasi tersebut, bisa jadi dunia usaha Indonesia akan mendekat ke Tiongkok.

0 Komentar