Kandidat Doktor Universitas Airlangga: Utang Rp8.325 Triliun, Kurs Rp16.650, Ini Mengkhawatirkan

Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho. (IST)
Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho. (IST)
0 Komentar

NILAI tukar rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998. Nilai tukar rupiah melemah sebesar 14 poin atau 0,08 persen menjadi Rp 16.676 per dolar AS dari sebelumnya Rp 16.562 per dolar AS.

Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menegaskan, anjloknya mata uang rupiah mengingatkan publik pada krisis moneter 1998. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini justru lebih buruk dibandingkan 27 tahun lalu.

”Pada 1998, ketika rupiah berada di posisi Rp 16.650 per dolar, total utang luar negeri kita hanya sekitar USD 70 miliar, atau setara Rp 1.165 triliun. Sekarang, dengan kurs yang sama, utang luar negeri kita sudah tembus USD 500 miliar atau sekitar Rp 8.325 triliun. Naik tujuh kali lipat,” ujar Hardjuno melaui keterangan di Surabaya, Sabtu (29/3).

Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin

Menurut dia, fakta tersebut menunjukkan bahwa rupiah saat ini belum mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia secara jujur. Artinya nilai tukar yang terlihat sekarang bisa jadi belum merepresentasikan tekanan riil terhadap rupiah. Bahkan mungkin masih terlalu kuat dibandingkan kenyataan.

Kandidat doktor Bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini juga menyinggung holdingstrategis BUMN, Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan aset hingga Rp 10.000 triliun. Menurut dia, meski angka asetnya terkesan besar, nilainya tidak begitu mencolok jika dibandingkan dengan total utang luar negeri Indonesia saat ini.

”Aset terbaik kita seperti Danantara saja belum tentu cukup untuk membayar seluruh utang luar negeri yang sudah mencapai Rp 8.325 triliun (USD 500 miliar). Ini mengkhawatirkan. Kalau aset andalan negara tidak bisa menutup utang, artinya kita harus hati-hati banget,” tandas Hardjuno Wiwoho.

Lebih lanjut, Hardjuno mengkritik pendekatan pemerintah yang selama ini terkesan membiarkan utang menumpuk tanpa ada strategi pelunasan yang jelas. Padahal, utang itu harus dibayar.

”Kalau kita tidak bisa bayar, artinya memang tidak mampu. Harus ada jalan keluar. Ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan seperti sekarang,” tegas Hardjuno Wiwoho.

Hardjuno mempertanyakan akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan yang selalu berganti, tetapi mewariskan beban yang sama dari tahun ke tahun.

0 Komentar