Hubungan Amerika Serikat-Afrika Selatan memburuk di bawah presiden Amerika Serikat sebelumnya, Joe Biden. Setelah Afrika Selatan menolak untuk memihak ketika Rusia menginvasi Ukraina. Pada tahun 2023, duta besar Amerika Serikat saat itu, Reuben Brigety, menuduh Afrika Selatan memasok senjata kepada Rusia.
Keadaan makin memburuk ketika Afrika Selatan mengajukan kasus yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza ke pengadilan internasional. Pengadilan PBB memerintahkan Israel untuk mengambil tindakan guna mencegah potensi tindakan genosida. Israel, yang bereaksi keras terhadap tuduhan tersebut, memiliki waktu hingga Juli untuk menjawab kasus Afrika Selatan.
Namun, tindakan Trump yang menjungkirbalikkan norma dan menyebarkan informasi yang salah tentang Afrika Selatan telah membawa hubungan tersebut ke wilayah baru.
Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin
“Ada perbedaan pendapat yang sangat besar tentang cara Ramaphosa dan Trump melihat dunia,” kata Ziyanda Stuurman, analis risiko politik independen.
Perintah eksekutif Trump mengkritik Afrika Selatan atas kasusnya terhadap Israel.
Perintah itu juga mengklaim bahwa undang-undang yang ditandatangani pada bulan Januari yang mengizinkan perampasan tanah dengan “kompensasi nihil” dalam keadaan terbatas memungkinkan Afrika Selatan untuk “merampas hak milik pertanian suku minoritas Afrikaner”.
Pemerintah Afrika Selatan mengatakan bahwa AS memiliki undang-undang serupa yang mengizinkan pemerintah mengambil alih tanah untuk kepentingan publik.
Kelompok Afrikaner (kelompok etnis di Afrika Selatan yang merupakan keturunan dari pemukim Belanda, Jerman, dan Prancis. Mereka juga dikenal sebagai Boer yang berarti “petani” dalam bahasa Afrikaans) konservatif yang dekat dengan sekutu Trump mempromosikan teori konspirasi tentang “genosida kulit putih” di Afrika Selatan.
Sementara itu, tanah dan kekayaan tetap terkonsentrasi di kalangan warga kulit putih Afrika Selatan, yang merupakan 7% dari populasi (sekitar setengah dari warga Afrikaans), sementara warga kulit hitam mewakili 81%.
“Bagaimana Anda menanggapi ketika motivasi utama di balik putusnya hubungan tersebut didasarkan pada ketidakbenaran total, yaitu bahwa orang kulit putih diperlakukan dengan buruk,” kata Melanie Verwoerd, mantan duta besar untuk Irlandia dan anggota parlemen untuk Kongres Nasional Afrika, gerakan pembebasan sebelumnya yang telah memimpin semua pemerintahan Afrika Selatan sejak berakhirnya kekuasaan minoritas kulit putih.