Martir Media: di Antara Mereka yang Tewas Saat Bekerja Sebagai Jurnalis

Seorang jurnalis mengumpulkan tanda bertuliskan ‘Jurnalism is not a Crime’ 27 Februari 2014 (Adam Berry/Getty
Seorang jurnalis mengumpulkan tanda bertuliskan ‘Jurnalism is not a Crime’ 27 Februari 2014 (Adam Berry/Getty Images)
0 Komentar

Melansir laman UGM, pakar komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Wisnu Martha Adiputra, menilai bahwa peristiwa ini bukan sekadar gangguan, tetapi sebuah tindakan pembungkaman pers.

“Bentuk intimidasi kepada media sudah dilakukan lewat perlakuan yang semena-mena hingga dihalangi untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi pada kasus ini memang levelnya lebih tinggi,” ungkapnya, Selasa (25/3).

Wisnu memberi pesan kepada para jurnalis untuk selalu berhati-hati dan waspada. Terlebih lagi bagi jurnalis media-media kecil dan media kampus belum tentu memiliki privilege seperti jurnalis dari media besar.

Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin

Meskipun, pada dasarnya insan pers merupakan bagian yang tidak boleh dilibatkan dalam konflik. “Kemerdekaan pers itu adalah hal yang penting dalam demokrasi, kalau kebebasan pers nggak ada kan berarti tidak ada demokrasi,” pungkasnya.

Meningkatnya kasus intimidasi dan pembungkaman jurnalis semakin memperumit lanskap politik Indonesia, terutama saat negara ini beralih dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto. Pergeseran kepemimpinan ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi perubahan dalam kebijakan, strategi tata kelola, dan yang terpenting, pendekatan terhadap kebebasan berekspresi.

Jokowi, yang berasal dari kalangan sipil dan pebisnis, sering dianggap sebagai pemimpin yang populis dan pragmatis. Sebaliknya, Prabowo, dengan latar belakang militer dan hubungan dekatnya dengan era Soeharto, memiliki paradigma kepemimpinan yang berbeda. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan penting: Apa yang akan terjadi pada demokrasi dan kebebasan pers di bawah kepemimpinan baru Indonesia?

Meskipun kepemimpinan dapat berubah, konstitusi negara tetap sama. Amandemen UUD 1945 tahun 2000 menegaskan demokrasi sebagai prinsip dasar pemerintahan. Pasal 28E (2) dan (3) secara tegas menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berkeyakinan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, serta berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi.”

Prinsip ini sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), yang menjamin kebebasan berbicara dan berekspresi tanpa intimidasi:

“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes the freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and impart information and ideas through any media, regardless of frontiers.”

0 Komentar