TEMPO mendapatkan sederet teror maupun intimidasi dalam beberapa waktu terakhir. Mulai dari kiriman paket kepala babi tanpa telinga, bingkisan berisi enam tikus mati dengan kepala terpotong, hingga wartawan desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Francisca Christy Rosana menjadi korban doksing.
“Insiden ini tentu saja mengejutkan banyak pihak, terutama karena terjadi dalam konteks meningkatnya ancaman terhadap jurnalisme investigatif di Indonesia,” ungkap pengamat intelijen dan politik, Bondhan W, Rabu (26/3)
Menurutnya, peristiwa ini menambah daftar panjang intimidasi terhadap media yang berani bersuara kritis terhadap kekuasaan dan kepentingan oligarki. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan. Bagaimanapun juga, kritik yang disampaikan bisa jadi alat penekan agar kekuasaan bisa dijalankan dengan konsekuen dan berintegritas.
Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin
“Media memiliki peran sebagai pengawas kekuasaan (watchdog), yang berfungsi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan serta aktor-aktor yang memiliki kepentingan besar dalam pengelolaan negara. Tanpa kebebasan pers, ruang publik untuk berdiskusi dan mengkritik kebijakan pemerintah akan semakin terbatas, yang pada akhirnya mengarah pada otoritarianisme,” ungkapnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Bondhan, indeks kebebasan pers di Indonesia mengalami kemunduran. Laporan Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan bahwa tekanan terhadap jurnalis semakin meningkat, baik dalam bentuk ancaman fisik, digital, maupun hukum.
“Sejauh amatan saya, media kini dikendalikan oleh konglomerat dengan kepentingan politik, sehingga independensi jurnalistik semakin terancam. Oleh karena itu, kehadiran media yang tetap berpegang pada idealisme menjadi krusial untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada publik tidak dikendalikan oleh kepentingan tertentu,” ujar Bondhan.
Ia menegaskan media yang independen dan berani adalah bagian dari sistem checks and balances dalam demokrasi. Tanpa media yang bebas, publik tidak memiliki akses terhadap informasi yang jujur, dan pemerintah tidak memiliki pihak yang mengawasi kebijakannya secara independen.
“Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu mengambil langkah tegas dalam menanggapi ancaman terhadap media. Jika dibiarkan, kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia, di mana ancaman dan teror menjadi alat untuk membungkam suara kritis,” lanjutnya.