Bentuknya bisa berupa komentar di media, gestur di lapangan, hingga aksi provokatif yang bertujuan untuk melemahkan kepercayaan diri lawan, membuat mereka gugup, atau mengalihkan fokus mereka dari permainan.
Konsep psywar dalam olahraga, khususnya sepak bola, mulai terlihat sejak era kompetisi awal, tetapi benar-benar berkembang pada pertengahan abad ke-20, terutama ketika sepak bola mulai mendapatkan perhatian media secara luas.
Era Awal (1930-an – 1950-an): Kompetisi dan Rivalitas Meningkat
Pada Piala Dunia 1930, tim Uruguay menggunakan media untuk menekan Argentina dengan menyatakan bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi atmosfer panas di Montevideo.
Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin
Seiring berkembangnya kompetisi antarnegara dan antar klub, strategi mental mulai menjadi bagian penting dalam persiapan tim.
Era Modern (1970-an – 1990-an): Media dan Perang Kata-Kata
Pada Piala Dunia 1974, legenda Belanda Johan Cruyff sering menggunakan psywar sebelum laga dengan mengomentari kelemahan lawan di depan media.
Sir Alex Ferguson, mantan manajer Manchester United, dikenal dengan “Mind Games”, sering kali memberikan komentar kontroversial untuk mengganggu lawan, seperti yang terjadi dalam persaingannya dengan Arsène Wenger dan José Mourinho.
Diego Maradona juga kerap menggunakan psywar, seperti saat Piala Dunia 1990, di mana ia sengaja memprovokasi pemain Brasil sebelum pertandingan babak 16 besar.
Era Digital dan Media Sosial (2000-an – Sekarang): Psywar Lebih Masif
Media sosial menjadi alat baru untuk psywar. Pemain dan klub menggunakan Twitter, Instagram, atau konferensi pers untuk menebar perang kata-kata.
Contohnya adalah perang komentar antara Sergio Ramos dan Mohamed Salah setelah final Liga Champions 2018, serta rivalitas di Premier League antara Pep Guardiola dan José Mourinho yang sering menggunakan strategi ini dalam konferensi pers.