Sri Mulyani dengan alibinya mengatakan deflasi ini justru dipicu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang diklaim telah meringankan beban masyarakat.
Dikatai kebijakan itu diantarinya diskon tarif listrik 50 persen pada Januari hingga Februari 2025. Pemerintah juga memberikan diskon tarif tol hingga insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) tiket pesawat selama periode Lebaran 2025.
Sementara itu, bagi Sri Mulyani, deflasi di Indonesia yang terjadi secara beruntun pada awal 2025, yakni 0,76% secara bulanan pada Januari, dan 0,48% pada Februari 2025 merupakan hasil desain pemerintah untuk menurunkan berbagai harga-harga yang bisa diatur pemerintah (administered prices).
Tantangan Buat Menkeu
Baca Juga:Mengenal Plengkung Gading yang Mulai Sistem Satu Arah, Mitos: Ilmu Hitam Seseorang Hilang Saat MelewatinyaDi Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru Imlek
Pertanyaan untuk Menkeu Sri Mulyani adalah ketika deflasi diyakini adalah politik kebijakan terkendali , apakah yakin dengan serta merta daya beli masyarakat akan naik?
Kenyataannya tetap terjadi deflasi, artinya kepercayaan pemerintah menurunkan pos-pos pengeluaran masyarakat melalui kebijakan pemerintah harusnya disambut oleh pergeseran kebutuhan. Namun demikian yang terjadi di lapangan adalah masyarakat tidak punya tabungan atau celah potensi untuk berbelanja.
Dengan demikian, timbul pertanyaan berikutnya adalah jika deflasi ditakdirkan menjadi dewa keselamatan ekonomi yang didesain oleh pemerintah, langkah apa saja yang akan meneruskan kebijakan progresif tersebut untuk mempertahankan deflasi?
Bukannya penerimaan hanya sebatas tarik ulur dan tawar menawar dengan masyarakat untuk kepentingan paket politik sesaat?
Beranikah pemerintah akan mempertahankan dengan memperpanjang tempo pelaksanaan program bantu masyarakat, diskon listrik, tarif jalan tol atau tarif tiket pesawat?
Penulis: Heru Subagia. Penulis dan Pengamat Ekonomi-Politik