Bangunan Plengkung Gading mempunyai filosofi yang menarik untuk diulik. Mengutip buku Geger Sepoy, Lilik Suharmaji (2020), aslinya adalah Plengkung Nirbaya yang artinya tidak ada bahaya yang mengancam. Plengkung ini lebih familier disebut dengan Plengkung Gading karena terletak di kawasan Jalan Gading.
Selain itu, warna dari bangunan ini putih seperti gading, sehingga tidak heran disebut dengan nama demikian. Bangunan ini tergolong sebagai gapura yang dimanfaatkan sebagai pintu masuk ke jeron benteng Keraton Jogja.
Mengutip buku Stories of My Life oleh Miley Ann Hasneni (2018), tempat bersejarah ini termasuk satu dari lima plengkung yang terhubung dengan Keraton, yaitu Tarunasura, Madyasura, Nirbaya, Jaga Surya, dan Jagasekitarbaya. Adapun plengkung yang paling populer di antara kelimanya adalah Plengkung Nirbaya dan Plengkung Tarunasura.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Sementara, dikutip situs resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Plengkung Gading yang memiliki nama asli Plengkung Nirbaya memiliki makna dari penamaannya. Nirbaya berasal dari dua kata, yaitu ‘nir’ yang artinya tidak ada, dan kata ‘baya’ yang artinya bahaya. Jika digabungkan, maka maknanya tidak ada bahaya yang mengancam.
Sementara itu, plengkung ini juga dikenal sebagai Plengkung Gading. Alasan dari hal tersebut karena plengkung ini berada di daerah Jalan Gading sehingga banyak yang menyebutnya Plengkung Gading. Selain itu, disebabkan juga karena warna bangunannya yang putih seperti gading.
Sejarah Plengkung Gading
Plengkung Gading yang termasuk dalam bangunan tembok keliling di sekitar Keraton Jogja, telah didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Plengkung Gading menjadi salah satu gerbang masuk di antara tembok seperti benteng yang mengitari keraton.
Dikutip dari laman resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, terdapat tangga menuju bagian atas Plengkung Gading yang digunakan prajurit keraton sebagai pos penjagaan. Di plengkung ini, prajurit akan memantau keadaan-keadaan yang terjadi di luar keraton.
Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, pada tahun 1935, terdapat Oudheidkundige Dienst (OD) atau Dinas Purbakala bernama Dr. F.D.K. Bosch yang sedang melakukan upaya rekonstruksi terhadap bangunan atau candi di Jawa Tengah dan Jogja. Bosch kemudian berkomunikasi dengan Gubernur Jogja, Johannes Bijleveld, dan diteruskan kepada Patih Danurejo dalam upaya menyelamatkan dan mendokumentasi plengkung yang ada di sekitar keraton.