KEBIJAKAN libur sekolah pada bulan Ramadan menjadi perdebatan dari tahun ke tahun di Indonesia. Termasuk, libur jelang dan sesudah Hari Raya Idulfitri. Sejumlah kebijakan dihadirkan untuk meramu libur pada bulan Ramadan bagi anak sekolah. Perdebatan mengenai hal ini bahkan sudah terjadi sejak Indonesia belum merdeka.
Menurut Antara, pada 1930 pemerintah penjajahan Hindia Belanda memutuskan untuk meliburkan sekolah selama sebulan penuh saat bulan Ramadan. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengambil hati umat muslim Indonesia dan menghindari perlawanan umat muslim terhadap kolonialisme Belanda.
Libur selama bulan puasa sudah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia sejak dulu.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Bahkan Perang Jawa pun libur saat puasa. Pangeran Diponegoro berpesan kepada Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Mercus de Kock melalui utusannya Jan Baptist Cleerens bahwa selama bulan puasa ia tidak akan melakukan pembicaraan apapun terkait perang. Pertemuan hanya dilakukan untuk silaturahmi saja. De Kock pun menyetujui hal itu.
Namun sikap manis pemerintah kolonial ini mempunyai maksud politis agar Diponegoro mau menyerah tanpa syarat. “Tujuan menghalalkan segala cara,” demikian tulis Peter Carey, sejarawan dan penulis Inggris yang mengkhususkan diri dalam sejarah modern Indonesia, dalam “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855”.
Namun Pangeran Diponegoro tetap menolak untuk menyerah sehingga dua hari sebelum Lebaran pada 25 Maret 1830 ia ditangkap.
Disesuaikan di Era Presiden Soekarno
Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan baru terkait libur Ramadan. Pemerintah mulai menjadwalkan ulang kegiatan resmi dan tidak resmi selama bulan suci untuk memberikan kesempatan kepada umat Islam menjalankan ibadah dengan lebih tenang.
Pada era ini, pemerintah mengatur agar kegiatan sekolah tidak sepenuhnya dihentikan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan bulan Ramadan. Beberapa hari libur diberikan di awal dan akhir Ramadan, sementara sisanya digunakan untuk kegiatan pendidikan yang relevan dengan semangat keagamaan.
Langkah ini mencerminkan pendekatan Soekarno yang ingin menjaga keseimbangan antara pendidikan nasional dan penghormatan terhadap tradisi agama mayoritas. Kebijakan ini diterima baik oleh masyarakat karena memberikan fleksibilitas tanpa mengorbankan proses belajar mengajar.