Mereka menuduh OpenAI melanggar hak cipta dengan menggunakan karya mereka untuk melatih AI tanpa izin. Model seperti ChatGPT, yang dirilis pada akhir 2022, menjadi fenomena global dengan pengguna ratusan juta orang dan valuasi perusahaan yang melonjak hingga $150 miliar.
Para penggugat berargumen bahwa keberhasilan ChatGPT dibangun di atas eksploitasi karya-karya kreatif tanpa penghargaan yang layak.
Beberapa tuntutan hukum juga menyoroti potensi kerugian ekonomi yang dialami oleh kreator, seperti penurunan permintaan untuk karya asli akibat meluasnya penggunaan konten hasil AI.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Dalam wawancara yang sama, Balaji juga mengkritik bagaimana perusahaan teknologi besar seperti OpenAI menggunakan prinsip fair use sebagai tameng hukum untuk praktik mereka. Menurutnya, interpretasi fair use dalam kasus ini tidak sesuai dengan tujuan aslinya, yaitu untuk mendorong inovasi tanpa merugikan pencipta konten.
“Jika AI digunakan untuk mengambil konten dari internet tanpa izin, kita tidak hanya berbicara tentang pelanggaran hukum, tetapi juga soal penghancuran ekosistem kreatif yang menopang internet,” kata Balaji.
OpenAI membantah keras tuduhan yang diajukan Balaji. Dalam pernyataan resmi mereka, perusahaan menegaskan bahwa seluruh data yang digunakan dalam pelatihan model AI mereka diambil dengan mematuhi prinsip fair use dan hukum yang berlaku.
OpenAI berpendapat bahwa pendekatan ini tidak hanya legal tetapi juga diperlukan untuk mendorong inovasi dan memastikan daya saing Amerika Serikat di bidang AI.
Namun, para kritikus menilai bahwa argumen fair use yang diajukan OpenAI tidak cukup kuat untuk membenarkan pengambilan data secara masif tanpa izin, terutama karena model generatif seperti GPT-4 dapat menghasilkan teks yang sangat mirip dengan karya asli.
Balaji akhirnya memutuskan untuk meninggalkan OpenAI pada pertengahan 2023 setelah merasa bahwa perusahaan telah menyimpang dari tujuan awalnya. Ia juga mendorong kolega-kolega yang sependapat dengannya untuk meninggalkan perusahaan demi menjaga integritas mereka.
“Saya bergabung dengan OpenAI karena saya percaya bahwa teknologi ini bisa digunakan untuk tujuan yang mulia,” katanya dalam sebuah wawancaranya. “Namun, saya kecewa melihat bagaimana praktik perusahaan ini justru bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.”