Setahun kemudian, banjir lebih besar melanda. Hampir seluruh kota terendam. Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasayuran, Kebon Jeruk, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam air hingga 1 meter. Banjir memicu wabah kolera sehingga banyak warga meninggal.
Restu juga mencatat, Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904, dan 1909. Pemerintah kolonial pun dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19 Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul “Batavia Onder Water”, pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk pengairan yang menjadi cikal bakal Kementerian Pekerjaan Umum.
Pada saat pemerintah Hindia Belanda membangun kawasan Menteng (1905-1940) sebagai kawasan elite untuk orang-orang Eropa, banjir telah menjadi persoalan yang menggenangi wilayah Jakarta seperti Senen, Tanahabang, Subang, Tanahtinggi, Kemayoran, Pasar Baru, dan lainnya.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Akhirnya pada 1913, dengan dukungan dana 2 juta gulden, pemerintah Hindia Belanda memutuskan membangun kanal dari Manggarai ke Muara Angke yang sekarang dikenal sebagai Kanal Banjir Barat.
Namun, pemerintah Hindia Belanda pada dasarnya membangun kanal hanya untuk melindungi kepentingan orang-orang Eropa dari masalah banjir dan bukan untuk melindungi warga Jakarta secara keseluruhan.
Banjir besar kemudian menerjang Batavia setelah hujan mengguyur tanpa henti sejak Januari hingga Februari 1918 yang menyebabkan harga sejumlah bahan pokok naik. Selama 22 hari, mendung selalu menggantung di Batavia. Bulan Februari 1918, kampung di Weltevreden terendam banjir selama beberapa hari sehingga penduduk setempat terpaksa mengungsi.
Saat itu beberapa kampung yang hingga kini menjadi langganan banjir, Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran sudah terendam. Bahkan Kampung Pejambon terendam sampai satu meter hingga penduduk setempat terpaksa mengungsi ke Gereja Willemsskerk yang tingginya lebih dari 3 meter.
Sejak Februari 1918 banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan Batavia lumpuh. Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkin, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa.
Begitu juga di Angke, Pekajon, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sahari, serta Penjambon, air juga merendam rumah-rumah penduduk. Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian.