Terjemahan Prasasti Tugu menyebutkan: “Dahulu atas perintah Rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang termasyur akan kemuliaannya dan jasanya di atas para raja. Pada tahun ke-22 pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut. Penggalian itu dimulai pada hari ke-8 bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ke-13 bulan terang bulan Citra, selama 21 hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja sebagai leluhur bersama para Brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah 1.000 ekor sapi.”
Jadi, ketika itu aliran sungai Cai-Taruma (Sungai Citarum) disejajarkan dengan Sungai Gomati di India karena sudah menerjang pusat Kota Tarumanagara. Solusinya, Purnawarman membuat sebuah saluran bernama Candrabhaga untuk mengalirkan air yang jernih itu ke laut.
Purnawarman juga memindahkan ibukota negara ke dekat pantai dan dari situlah nama Sunda Pura dipakai untuk ibukota negara yang kemudian berganti menjadi Sunda Kelapa. Setelah itu kekuasaan berpindah ke Kerajaan Sunda (abad ke 7-16) yang beribukota di Pakuan Pajajaran (Bogor). Mungkin karena intensitas banjir semakin tinggi, sehingga ibukota diletakkan di tempat yang lebih tinggi.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Catatan tentang banjir ini kemudian terputus sejak era Purnawarman hingga kemudian pemerintahan kolonial Belanda menguasai wilayah Sunda Kelapa. Ketika itu, pemerintah Belanda melalui Gubernur Jenderal ke-6 VOC yaitu Jan Pieterszoon Coen berusaha menata kembali kota yang kini bernama Batavia itu menjadi sebuah kota yang bersahabat dengan air.
Coen memimpikan duplikat Amsterdam, Belanda. Ia pun meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sering kebanjiran pada 1619. Kota yang dibangun di atas reruntuhan Jayakarta itu dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan kanal.
Kanal-kanal itu dibuat untuk memperlancar aliran Sungai Ciliwung menuju Laut Jawa. Kanal-kanal yang dibangun di masa kolonial tidak hanya dibangun untuk membantu aliran air sungai-sungai yang melintasi Batavia, tetapi untuk sarana transportasi air di daerah Batavia.