Goens, seperti dicatat Kumar, mendeskripsikan ada sekitar tiga puluh perempuan yang mengenakan pakaian tempur bangsawan laki-laki berdiri mengelilingi singgasana Sultan. Sepuluh di antara mereka membawa perlengkapan raja berupa bejana air, kotak sirih, minyak wangi, dan pipa tembakau. Sementara sisanya yang bersenjatakan tombak dan tameng menjaga dari berbagai arah.
Seperti halnya dayang istana, mereka dipilih di antara perempuan tercantik di negeri itu. Sayangnya, gadis-gadis berusia belasan yang direkrut dari kalangan putri-putri pejabat daerah (lurah dan demang) ternyata tidak datang atas kemauan sendiri. Mereka dikumpulkan di bawah titah raja yang ada kalanya dengan leluasa mengambil mereka sebagai selir atau malah menghadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.
Menurut catatan Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad 18-19 (2016: 21), merekrut putri-putri pejabat daerah ke dalam prajurit estri pernah menjadi obsesi Sultan Hamengkubuwono II. Sang raja disebutkan teringat kepada ibundanya, Ratu Ageng, yang pernah menjadi komandan kesatuan yang sama. Akibatnya, banyak suami dan bapak-bapak di Kesultanan Yogyakarta abad ke-18 mengeluhkan istri-istri muda dan putri-putri mereka dipaksa masuk istana untuk ambil bagian dalam kesatuan kawal.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Baik Carey maupun Houben menduga prajurit estri merupakan salah satu kategori abdi dalem yang diidamkan HB II sehingga sulit baginya untuk tidak memikirkannya. Sang sultan bertakhta dalam situasi politik kurang baik yang memaksanya naik turun takhta sepanjang tiga periode. Oleh sebab itu, barangkali dia merasa lebih aman bertakhta dilayani orang-orang pilihan.
Selain prajurit estri, abdi dalem yang dimaksud terdiri dari polowijo atau nonok (orang cebol), pemuda-pemuda bangsawan yang punya hubungan dekat dengan sultan, dan para nyai keparak berusia tua. Mereka adalah orang-orang yang berkewajiban melayani sultan dan keluarganya di kala malam, sedangkan abdi dalem laki-laki sudah harus pergi setelah matahari terbenam.
Membentuk satuan kawal perempuan dalam tradisi kerajaan Asia Tenggara agaknya bersumber dari anggapan yang menyebut perempuan jauh lebih sulit terlibat konspirasi dan pengkhianatan ketimbang pengawal laki-laki. Kaum laki-laki cenderung lebih mudah bereaksi terhadap setiap penghinaan ketika menggenggam senjata. Selain di Jawa dan Aceh, Kerajaan Siam di Thailand juga memiliki satuan pengawal perempuan bernama Sanam Dahar.