Salah satu foto menunjukkan seekor lumba-lumba dengan kepala terpenggal.
“Dampaknya meluas ke seluruh dunia: ikan yang ditangkap oleh para tenaga kerja ilegal ini masuk ke pasar makanan laut global,” kata Steve Trent, CEO dan pendiri EJF, dalam pernyataan.
“China menanggung beban terbesar, tetapi ketika produk yang terkontaminasi perbudakan modern sampai ke meja makan kita, jelas bahwa negara-negara yang memberi izin dan para regulator juga harus memikul tanggung jawab penuh,” tulisnya.
Beijing pada Senin (24/2) mengaku “tidak mengetahui” kasus-kasus spesifik tersebut ketika ditanya tentang laporan itu.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
“China selalu mewajibkan kegiatan penangkapan ikan lepas pantainya untuk mematuhi hukum dan peraturan setempat serta ketentuan hukum internasional yang relevan,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam sebuah pengarahan.
“Kerja sama antara China dan Korea Utara dilakukan sesuai dengan kerangka hukum internasional,” tambah Lin.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun lalu menyatakan bahwa sekitar 20.000 hingga 100.000 warga Korea Utara bekerja di China, terutama di restoran dan pabrik.
Laporan Departemen Luar Negeri menyebutkan bahwa Korea Utara menahan hingga 90 persen upah pekerjanya di luar negeri dan memberlakukan kondisi kerja paksa terhadap mereka.