Laporan NGO: Warga Korea Utara Alami Kerja Paksa di Kapal Penangkap Ikan Berbendera China Selama Satu Dekade

Sebuah helikopter menjatuhkan kargo berisi peralatan pemompaan minyak ke dek FV Lu Rong Yuan Yu, kapal penangk
Sebuah helikopter menjatuhkan kargo berisi peralatan pemompaan minyak ke dek FV Lu Rong Yuan Yu, kapal penangkap ikan berbendera China yang kandas, di Pointe-aux Sables, Port-Louis, Mauritius, Selasa 9 Maret 2021. (Foto: via AP)
0 Komentar

KOREA Utara, negara bersenjata nuklir, sudah lama meraup keuntungan besar dari pengiriman warganya untuk bekerja ke luar negeri, kebanyakan dari mereka bekerja di China dan Rusia.

Laporan yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu lingkungan dan HAM pada Senin (24/2) mengungkapkan bahwa banyak warga Korea Utara yang mengalami kerja paksa di kapal penangkap ikan berbendera China setidaknya selama satu dekade tanpa pernah menginjakkan kaki di daratan.

Para pekerja itu bahkan juga mendapatkan perlakuan kasar, baik secara verbal maupun fisik, serta kondisi kerja yang berat.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Korea Utara, negara bersenjata nuklir, sudah lama meraup keuntungan besar dari pengiriman warganya untuk bekerja ke luar negeri, kebanyakan dari mereka bekerja di China dan Rusia.

Resolusi Dewan Keamanan PBB 2017, yang didukung China, mewajibkan negara-negara di dunia untuk mendeportasi para pekerja Korea Utara guna mencegah Pyongyang memperoleh mata uang asing yang akan digunakan untuk membiayai program nuklir dan rudalnya.

Namun, para analis menuding Beijing dan Moskow mengabaikan ketentuan tersebut.

Laporan Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) yang berbasis di London pada Senin (24/2) menyoroti pelanggaran luas terhadap pekerja Korea Utara di laut, yang melanggar sanksi.

Laporan itu menyebut “warga Korea Utara dipaksa bekerja setidaknya 10 tahun di laut, dalam beberapa kasus tanpa pernah menginjak daratan.”

“Ini adalah kerja paksa dalam skala yang melampaui kekejaman yang sudah lazim di industri perikanan global.”

Klaim itu bersumber dari wawancara dengan belasan awak kapal asal Indonesia dan Filipina yang bekerja di kapal penangkap tuna China di Samudra Hindia pada 2019-2024.

“Mereka tidak pernah berkomunikasi dengan istri atau orang lain saat berada di laut karena mereka tidak diizinkan membawa telepon seluler,” kata salah seorang awak kapal.

Baca Juga:Menteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini JelasnyaPemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS Cimancis

Awak lainnya mengatakan beberapa warga Korea Utara sudah bekerja di kapal tersebut selama ‘tujuh tahun, atau delapan tahun,’ sambil menambahkan: ‘Mereka tidak diberi izin untuk pulang oleh pemerintah mereka.’”

Perbudakan Modern

Laporan itu juga menyebut kapal-kapal yang mengangkut warga Korea Utara tersebut terlibat dalam praktik pemotongan sirip hiu serta penangkapan hewan laut besar, seperti lumba-lumba. Ironisnya, hasil tangkapan mereka diperkirakan iku masuk ke pasar Uni Eropa, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

0 Komentar