Sejauh ini, panggung depan politik sikap PDIP yang jamak dicerna publik adalah yang datang dari soal penahanan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto oleh KPK.
Plus, Hasto begitu gusar dengan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menegakkan hukum tanpa terkecuali, termasuk memeriksa keluarga Presiden ke-7 Joko Widodo.
Akan tetapi, intruksi Megawati kepada kader PDIP yang menjadi kepala daerah untuk menunda perjalanan menuju kegiatan retret bersama Prabowo di Akademi Militer (Akmil), Magelang, agaknya memang cukup rasional untuk “ditunjukkan”.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Tak lain, tujuannya kemungkinan demi menjaga ekspektasi para pendukung mereka. Inilah yang membuat panggung belakang politik PDIP ke depan tetap relevan untuk dipertanyakan.
Kini, Megawati pun bak “ratu demokrasi”. Meski Indonesia tak menganut sistem “oposisi”, banyak kalangan yang berharap PDIP akan menjadi penyeimbang pemerintah Prabowo-Gibran nantinya.
Shahla Haeri dalam bukunya yang berjudul The Unforgettable Queens of Islam membahas mengenai Megawati dalam sebuah bagian khusus. Dia menyebut Megawati sebagai “Limbuk” dalam dunia pewayangan yang bertransformasi menjadi seorang “ratu”.
Salah satu ciri utama Limbuk adalah statusnya sebagai perempuan di lingkungan kekuasaan. Limbuk tak banyak bicara, yang dianggap Haeri mirip dengan status Megawati yang awalnya dianggap sebagai sosok pemalu dan tak pandai berbicara di hadapan publik.
Namun, sosok Limbuk itu kemudian disebut berubah menjadi ratu. Dalam konteks melihat kelemahan-kelemahan dirinya, Megawati nyatanya mampu membangun lingkaran pendukung di sekitarnya yang berisi orang-orang yang loyal dan punya kemampuan yang menopang kekuasaannya.
Penulis: Pemerhati Politik, Bondhan W