Sejak Diluncurkan Biaya Capai Rp1,3 Triliun Coretax Bermasalah, Ekonom UGM: 4 Penyebab Utamanya

Ilustrasi: DJP Kemenkeu
Ilustrasi: DJP Kemenkeu
0 Komentar

DIREKTORAT Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI secara resmi menetapkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax) sebagai sistem perpajakan di Indonesia sejak awal Januari lalu.

Ironisnya, hingga saat ini semenjak peluncurannya, masih banyak kendala dan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terkait sistem baru tersebut. Terlebih dengan biaya pembuatannya yang mencapai 1,3 triliun rupiah digadang melebihi pembuatan DeepSeek dan ChatGPT.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE menyampaikan persoalan Coretax belum berfungsi secara optimal dikarenakan proses implementasi kebijakan perpajakan ini dilakukan terlalu terburu-buru dan kurang matang.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

“Ada kesan bahwa proses pra-implementasi dilakukan dengan terburu-buru dan kurang matang, mengingat waktu persiapannya yang sangat singkat antara pertengahan hingga akhir Desember lalu,” ujarnya, Sabtu (15/2).

Rijadh menuturkan ada indikasi bahwa perencanaan pelaksanaan dan mitigasi risiko belum dilaksanakan secara optimal. Bahkan tahapan implementasi terutama pada proses deployment, data migration, dan load balancing yang tidak berjalan optimal, kemudian menyebabkan sejumlah masalah teknis terjadi dan dikeluhkan oleh berbagai pihak, seperti gangguan pada sistem, kesulitan dalam migrasi data, serta minimnya pelatihan bagi pengguna akhir.

Lebih lanjut, ia memaparkan ada 4 faktor yang menjadi penyebab utama permasalahan pada Coretax.

Pertama, sistem yang belum siap menangani akes massal. Hal ini terjadi karena adanya lonjakan traffic secara real-time, sehingga menyebabkan terjadinya bottleneck pada jaringan dan sistem yang membuat waktu respons server melambat dan sulit diakses.

Kedua, adanya bug pada beberapa fungsi penting sistem seperti proses pelaporan, validasi data, dan otomatisasi perpajakan yang masih mengalami runtime errors dan data validation failures. Riyadh menilai proses quality assurance (QA) dan user acceptance testing (UAT) tampaknya belum sepenuhnya dilakukan secara menyeluruh sehingga hal ini bisa terjadi.

Ketiga, kapasitas sistem yang tidak mencukupi dan arsitektur sistem yang tidak efisien. Rijadh menjelaskan bahwa arsitektur yang didesain tidak siap untuk skalabilitas tinggi, sehingga sistem mudah mengalami service disruptions ketika volume data melonjak.

0 Komentar