Andai Saya Bisa Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Bondhan W
Bondhan W
0 Komentar

PRESIDEN Prabowo Subianto mengingatkan soal nilai-nilai bangsa Indonesia, yakni memandang positif suatu hal, termasuk dalam menyikapi pemimpin terdahulu bangsa yang, menurutnya, pasti berjasa bagi Indonesia. Dia mengutip peribahasa Jawa ‘mikul dhuwur, mendhem jero’.

“Saudara-saudara sekalian, kita harus sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia, hormatilah mereka yang berjasa, hormatilah mereka yang telah berbuat baik. ‘Mikul dhuwur mendhem jero’ itu tradisi kita, itu adab kita. Cari kebaikan, bukan kejelekan,” ucap Prabowo dalam HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Bogor, Jawa Barat (Jabar).

Saya jadi ingat salah satu karakter terindah dalam falsafah Jawa adalah istilah “mikul dhuwur mendhem jero. Istilah ini mengedepankan penghormatan kepada mereka yang lebih tua, atau yang dituakan.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Penghormatan tersebut tidak hanya ketika mereka masih hidup, bahkan ketika sudah meninggal pun mesti tetap “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”.

Istilah ini pernah dipopulerkan oleh mendiang Presiden Soeharto (Presiden ke-2 RI). Mikul dhuwur mendhem jero punya makna memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya. Artinya, meninggikan kelebihan dan kebaikan serta menutupi kekurangan seseorang.

Dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, ada dialog menarik antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto.

Berikut petikannya:

Di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta, di Istana Merdeka saya mengadakan dialog dengan Bung Karno. Itu menyambung pembicaraan mengenai situasi dan mengenai PKI.

Saya berkeyakinan bahwa pikiran Bung Karno mengenai jalan keluar kurang tepat. Saya terus berusaha supaya beliau mengerti dan menyadari perubahan yang telah terjadi. Sampai akhirnya rupanya beliau bertanya-tanya, mengapa saya tidak patuh kepadanya.

Sewaktu kami berdua, Bung karno bertanya dalam bahasa Jawa, di tengah-tengah suasana Jakarta, “Harto, Jane aku iki arep kok apakke?” (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu.”

Saya memberikan jawaban dengan satu ungkapan yang khas berakar pada latar belakang kehidupan saya.

Baca Juga:Menteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini JelasnyaPemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS Cimancis

“Bapak Presiden,” jawab saya, “saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya; menghormat) terhadap orang tua.”

0 Komentar