Kritik Soal Indonesia Gabung Kelompok Ekonomi BRICS, Tersembunyi Kerumitan Relasi Kuasa Perlu Dicermati Kritis

Kritik Soal Indonesia Gabung Kelompok Ekonomi BRICS, Tersembunyi Kerumitan Relasi Kuasa Perlu Dicermati Kritis
Heru Subagia
0 Komentar

SEJAK 6 Januari 2025 lalu, Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota ke-10 kelompok ekonomi BRICS, sebuah kelompok ekonomi besar yang memegang peranan penting dalam perekonomian global yang anggota utamanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.

Bergabungnya Indonesia dengan BRICS diperkirakan akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia di bidang ekonomi, perdagangan, stabilitas mata uang, hingga diplomasi internasional. Meskipun demikian, keanggotaan Indonesia di BRICS ini, bukanlah tanpa risiko.

Ada momen historis: bagaimana kekuatan ekonomi regional di Asia Tenggara memilih untuk beraliansi dengan blok yang kerap dipandang sebagai tandingan hegemoni Barat.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Namun, di balik gegap gempita retorika tentang “tata dunia baru yang lebih adil”, tersembunyi kompleksitas relasi kuasa yang perlu dicermati secara kritis.

“Bergabungnya Indonesia di BRICS bisa menciptakan benturan kepentingan dengan Amerika Serikat dan sekutunya yang juga merupakan negara tujuan ekspor Indonesia,” ungkap Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), Heru Subagia alumnus Hubungan Internasional Fisipol angkatan 1996 ini, Kamis (13/2).

Indonesia bisa terimbas perang dagang Amerika-Cina, kata Heru, jika tidak diantisipasi, Indonesia justru bisa kehilangan sejumlah fasilitas perdagangan dan pasar ekspor.

Menurutnya, hubungan dagang dengan anggota BRICS, terutama Cina, juga perlu dicermati. Alih-alih meningkatkan pasar ekspor, Indonesia justru bisa terjebak menjadi sekadar pasar bagi negara-negara anggota BRICS.

“Keanggotaan Indonesia di BRICS akan makin membuka peluang ekspor mereka ke Indonesia. Bahkan saat ini Indonesia masih kesulitan membendung banjir produk impor dari Cina yang menyebabkan banyak industri manufaktur, terutama tekstil, gulung tikar,” paparnya.

Di bidang investasi juga bukan tanpa masalah, Heru menambahkan, investasi Cina dalam proyek penghiliran selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo menuai banyak kritik. Sebesar 41 persen investasi Cina di Indonesia ditanamkan ke industri pengolahan logam dasar yang tidak ramah lingkungan, termasuk pembangunan smelter nikel.

Di sisi lain, ia menekankan hampir semua perusahaan smelter nikel yang dikuasai Cina di Indonesia menganut rezim devisa bebas. Artinya, Cina berhak membawa semua hasil ke negerinya sendiri. Masalahnya, hampir separuh ekspor tersebut masih berupa produk setengah jadi. Walhasil, keuntungan besar dari proyek penghiliran nikel Indonesia justru banyak dinikmati Cina.

0 Komentar