Selain itu, upaya Prancis untuk mencapai otonomi strategis, meskipun masih menjadi bagian dari NATO dan blok Barat, menjadikannya sebagai mitra geopolitik alternatif yang potensial bagi negara-negara seperti Indonesia, yang berupaya mendiversifikasi kemitraan strategisnya di luar Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok.
Jejak geopolitik Prancis yang unik di Indo-Pasifik menambah nilai strategisnya bagi Indonesia. Wilayahnya di Polinesia dan Kaledonia Baru memberikan pengaruh Paris secara permanen dan kehadiran militer di wilayah tersebut, tidak seperti kebanyakan negara Eropa lainnya. Seperti yang ditunjukkan oleh Misi Clemenceau 25, Prancis juga memiliki kemampuan besar untuk memproyeksikan kekuatan dan aset militer tambahan ke Indo-Pasifik.
Sementara itu, Prancis melihat Indonesia sebagai mitra utama di kawasan ini, antara lain karena ukuran dan lokasinya yang strategis, hal ini secara jelas ditunjukkan dalam latihan La Perouse 25. Pada saat yang sama, kepentingan ekonomi memainkan peran yang besar. Contoh utamanya adalah pilihan Indonesia untuk membeli jet tempur Rafale dan kapal selam Scorpene Evolved dari Perancis dalam kesepakatan senilai lebih dari $10 miliar.
Rintangan dan Kendala
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Meskipun hubungan Prancis dan Indonesia bertujuan untuk lebih memperkuat kemitraan pertahanan, kendala keuangan menimbulkan tantangan yang signifikan bagi Jakarta.
Keterbatasan anggaran dilaporkan menunda proyek pengadaan senjata tertentu dari Perancis dan negara-negara lain, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai kemampuan Indonesia untuk mempertahankan komitmen pertahanan jangka panjangnya.
Bulan lalu, Kementerian Pertahanan Indonesia mengumumkan rencana untuk secara bertahap menggandakan belanja pertahanan negara, yang saat ini merupakan salah satu belanja pertahanan terendah di ASEAN, menjadi 1,5 persen dari PDB.
Namun demikian, tidak adanya batas waktu yang jelas menimbulkan keraguan mengenai seberapa cepat ambisi tersebut dapat terwujud. Faktanya, anggaran pertahanan tahunan yang melebihi 1 persen PDB telah dibahas setidaknya sejak tahun 2009.
Terlebih lagi, keputusan kontroversial yang baru-baru ini dilakukan untuk mengalokasikan kembali anggaran pemerintah sebesar $18 miliar ke program-program andalan Prabowo, termasuk program makanan gratis dan peningkatan layanan kesehatan, yang menurut Kementerian Pertahanan tidak berdampak pada program pengadaan dan operasi TNI, tidak memberikan sinyal yang menjanjikan mengenai kapasitas Jakarta untuk meningkatkan belanja pertahanannya secara signifikan di tahun-tahun mendatang.