Jika kudeta didefinisikan sebagai tindakan perebutan kekuasaan oleh kelompok militer, maka fenomena di Burkina Faso jelas tidak termasuk. Alih-alih, yang terjadi di sana adalah pengambilalihan kekuasaan yang didorong oleh aksi massa.
Paul Collier and Anke Hoeffler dalam artikel berjudul “Coup Traps: Why does Africa have so many Coups d’Etat?” (2005)menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan yang buruk meningkatkan risiko kudeta di negara-negara Afrika. Kebobrokan tata kelola pada akhirnya bersumber dari buruknya fondasi ekonomi Benua Hitam yang sejatinya kaya sumber daya alam. Afrika, menurut Collier dan Hoeffler, bisa diselamatkan dari ancaman kudeta jika mereka bisa mencapai pertumbuhan ekonomi ketimbang reformasi politik.
Solusi berbeda datang dari Valery Besong. Menurutnya, negara-negara Afrika perlu mendirikan pemerintahan yang demokratis dengan mengadopsi pemilihan independen yang menjamin pemungutan suara secara bebas dan adil, mendorong kebebasan berbicara, serta menghormati Hak Asasi Manusia dan aturan konstitusi.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Menurut Besong, dalam banyak kasus para pemimpin Afrika tak menjalankan resep-resep pemerintahan yang demokratis. Presiden Omar Bongo dari Gabon, misalnya, yang telah berkuasa sejak 1967. Meski beberapa kali memenangkan pemilu presiden, namun semuanya dilakukan dengan curang. Bongo bahkan mengintervensi penyusunan Konstitusi 2003 agar ia dapat mencalonkan diri lagi dan lagi.
Pola yang makin memperparah lingkaran kudeta turut didorong oleh perilaku penguasa yang melakukan kekerasan terhadap anggota partai oposisi, mengintimidasi pekerja pers, menyensor surat kabar, stasiun radio dan televisi yang kritis terhadap pemerintah yang lalim.
Besong menambahkan, upaya kudeta mungkin bisa gagal dengan pertimbangan bahwa dinas intelijen pemerintah dapat mendeteksi perencanaan kudeta serta menerima laporan dari dinas intelijen asing yang menginformasikan tahap-tahap rencana kudeta kepada pemerintah yang disasar. Perwira militer yang mengambil sikap setia pada pemerintah dan menghalau kelompok pasukan pemberontak pun mampu menggagalkan upaya kudeta.
Di Republik Afrika Tengah, kudeta 1965 terjadi di tengah belitan krisis anggaran dan maraknya kasus korupsi menteri. Faktor ini mendorong upaya-upaya penggulingan Presiden David Dacko yang dianggap sudah lemah. Situasi kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Kolonel Jean-Bedel Bokassa yang kebetulan punya ambisi pribadi untuk jadi penguasa.