Ada sangat banyak sumber literatur membahas gunung yang juga dikenal sebagai “Gunung Pugawat” itu. Dari abad 11 M hingga abad 19 M. Gunung Pandan sudah masyhur, bahkan sebelum Majapahit lahir ke dunia.
Pada abad 19 M, pelancong Jawa bernama Raden Mas Arya Purwalelana, melakukan ekspedisi ke 18 titik karesidenan, dari total 22 titik karesidenan yang ada di Pulau Jawa saat itu. Hasil dari perjalanannya itu, ia tulis dalam dua jilid buku berjudul Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana 1865 dan 1866.
Singkat cerita pada 1822, ia diajak ke Desa Kedhaton di lereng Gunung Pandan. Di sana ia mencatat terdapat makam putri bernama Gendrosari yang berada di Puncak Gunung. Makam itu dikelilingi tanggul setinggi 3 meter, lebar 16 meter, sepanjang sisi tenggara terdapat tanggul begitu presisi. Di lokasi itu, ia juga mencatat keberadaan sebuah patung raksasa yang dikenal dengan nama Mbah Derpo.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Dalam catatan Purwalelana, tak ada istilah Keraton Solo. Purwalelana tentu tahu, sejak Perjanjian Giyanti (1755 M), Bojonegoro merupakan bagian dari Kesultanan Jogjakarta, bukan Kasunanan Surakarta (Keraton Solo). Sampai di sini, terlihat fakta bahwa Mbah Derpo tidak berasal dari Keraton Solo.
Untuk memperkuat fakta di atas, mari kita baca sebuah laporan dari penulis Belanda bernama Roorda Eysinga yang dimuat dalam Nederlands Oost Indie (1857). Dalam laporan ilmiahnya, dia menulis, di puncak Gunung Pandan, ia menemukan banyak benda peribadatan kaum Brahma. Satu paling spektakuler adalah patung Brahma raksasa setinggi 12 hasta (sekitar 14 meter).
Roorda Eysinga memperjelas, warga sekitar menyebut patung Brahma raksasa yang dikelilingi 8 pohon jambe (pinang) itu, dengan sebutan “Kiai Derpo”. Ada dugaan Kiai Derpo adalah patung Brahma tertinggi se-Jawa saat itu. Kiai Derpo adalah patung raksasa Kaum Brahma Budha Mahayana.
Pendhermaan Raja Erlangga
Sosok Kiai Derpo dan Putri Gendrosari yang misterius di abad 19 M itu, memang bekas arca dan pendhermaan kaum Budha Mahayana yang ada di Puncak Kendeng (Gunung Pandan). Benda itu sudah ada sejak zaman Raja Erlangga Medang Kahuripan. Ini sesuai informasi dari Prasasti Pucangan Sanskerta (1041 M).