DEWAN Ekonomi Nasional (DEN) menyampaikan sikap Indonesia dalam menghadapi dinamika global. Ini secara khusus terkait kebijakan perdagangan Amerika Serikat di periode kedua Donald Trump.
Dengan pendekatan yang lebih agresif, Trump 2.0 telah menerapkan tarif baru terhadap Meksiko, Kanada, dan China dalam kurun waktu kurang dari 15 hari setelah pelantikannya.
Indonesia tetap waspada terhadap kemungkinan menjadi target kebijakan tarif AS, terutama karena defisit perdagangan AS terhadap Indonesia menempati peringkat ke-15, di bawah Malaysia dan di atas Swiss. Oleh karena itu, strategi mitigasi harus segera disiapkan.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Ketua dan Anggota DEN sore ini bertemu Presiden Prabowo Subianto untuk melaporkan hasil kunjungan ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Usai pertemuan, Anggota DEN, Chatib Basri, menegaskan Indonesia akan tetap menjaga hubungan perdagangan yang seimbang dengan AS.
“Indonesia dapat mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif dalam menjaga hubungan perdagangan dengan AS, termasuk dengan meningkatkan impor produk strategis seperti pesawat, LNG, dan produk pertanian. Selain itu, perhatian juga perlu diberikan terhadap perusahaan AS yang berinvestasi di Indonesia, yang menghadapi tantangan regulasi di dalam negeri,” terang Chatib dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (7/2).
Selain hubungan dengan AS, lanjut Chatib, Indonesia juga bersikap waspada dalam menghadapi dinamika yang terjadi di BRICS. AS secara terang-terangan menyatakan akan menekan negara-negara yang berusaha menggantikan dolar sebagai mata uang utama perdagangan internasional.
Namun, data menunjukkan bahwa meskipun porsi dolar dalam cadangan devisa global turun, perubahan ini lebih disebabkan oleh dinamika pasar daripada upaya nyata untuk menggantikan dolar.
“Posisi Indonesia harus tetap netral dan seimbang, dengan menegaskan bahwa keanggotaan di BRICS bukan berarti mendukung dedolarisasi, melainkan untuk memperluas peluang perdagangan dan investasi,” lanjutnya.
Perang dagang yang kembali memanas antara AS dan China berpotensi mendorong relokasi industri ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Untuk dapat menangkap peluang ini, Indonesia harus segera melakukan pembenahan dalam berbagai aspek, seperti penyederhanaan regulasi, percepatan reformasi struktural, dan digitalisasi layanan.
Baca Juga:Menteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini JelasnyaPemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS Cimancis
“Saat ini, banyak investor global masih melihat kompleksitas regulasi di Indonesia sebagai tantangan utama. Oleh karena itu, reformasi struktural harus terus dipercepat, termasuk deregulasi, digitalisasi layanan, serta penguatan kawasan ekonomi khusus,” tegas Chatib.