HUBUNGAN masyarakat dengan media massa seringkali menjadi masalah yang memiliki potensi konflik. Kondisi ini terjadi pula di Indonesia, terutama pascagerakan reformasi 1998. Demikian pernyataan pegiat media, Aris Armunanto, Selasa, (4/2).
Menurut Aris, pergeseran kekuasaan yang berkembang pada pergeseran konstelasi politik di Indonesia berpengaruh besar pada kebebasan pers. Realitas konflik antara masyarakat dan media massa pun berkembang seiring perubahan kebebasan pers di Indonesia.
“Fenomena pers Indonesia era reformasi diwarnai oleh tidak terkendalinya pertumbuhan media (terutama cetak). Profesi wartawan seolah menjadi profesi yang mudah dilakukan orang dengan latar belakang apapun,” paparnya yang menggawangi portal daring yang sedang berkembang ini.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Begitu mudahnya orang menjadi wartawan, kata Aris, sopir angkot, preman, calo, bahkan pengangguran pun bisa menjadi wartawan. Di sisi Iain, media baru pada akhimya berguguran karena tidak mampu bertahan menghadapi persaingan bisnis yang ketat.
Uniknya, ia menjelaskan kematian media massa tersebut tidak mengurangi jumlah wartawan yang “beroperasi”. Media baru gampang mati, tapi wartawannya tetap bergentayangan. Bahkan saat bertahan hidup pun, sejumlah media baru tidak menggaji karyawannya sehingga banyak wartawan yang ‘digaji’ dengan Kartu Pers
Lebih lanjut, imbuh Aris, kondisi di atas, seolah melempar tanggung jawab kepegawaian yang harusnya ditanggung oleh perusahaan media,kepada sumber berita. Wartawan diarahkan untuk mencari uang dari kartu pers yang ia miliki. Hal ini yang akhimya berujung pada upaya pemerasan atau permintaan imbalan saat peliputan berita. Padahal soal kesejahteraan wartawan bukan tanggungjawab sumber berita.
“Berlindung kepada undang- undang Pers yang menjamin bahwa wartawan dilindungi dalam proses mencari informasi untuk kebutuhan khalayak, serta segala hal yang menghalang-halangi upaya peliputan berita dapat dikenakan sanksi pidana, maka seolah profesi wartwan dianggap “sakti” oleh sebagian orang. Tak jarang orang yang berprofesi sebagai wartawan menunjukkan identitasnya saat operasi lalu lintas, dengan maksud agar dibebaskan dari segala pelanggaran yang dilakukan,” paparnya.
Aris prihatin dengan banyaknya oknum wartawan. Setelah ditelusuri yang menyuburkan istilah wartawan ‘’Bodrex’’ itu adalah kebijakan humas pemerintah yang menyediakan dana untuk wartawan.