Juli 1958, Pram mendirikan kelompok diskusi Simpat Sembilan yang beranggotakan para seniman, wartawan, dan mahasiswa. Lalu pada 7 September 1958, ia memimpin delegasi Indonesia dalam Pertemuan Pengarang Asia-Afrika di Tasykent. Dalam delegasi ini, Utuy T. Sontani dan Dodong Djiwapradja turut serta. Dari sana, Pram terus melawat ke Turkmenia dan Moskow. Setelah singgah di Siberia, Beijing, dan Rangoon, Pram kembali ke Indonesia pada 21 Oktober 1958.
Anak-Anak Rohani
Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony (2002: 222-3), pada mulanya Pram tidak boleh menulis. Namun setelah Jenderal Soemitro datang ke Pulau Buru pada 1973, barulah ia diizinkan menulis. Sejak itu ia menulis tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Ia juga menulis Arok Dedes, Arus Balik, Mangir, dan Nyany Sunyi Seorang Bisu.
Pram baru dibebaskan pada 21 Desember 1979 setelah melewati penjara Magelang, Semarang, dan Salemba. Meski demikian, ia dikenakan wajib lapor dan tidak mempunyai hak memilih atau dipilih dalam pemilu.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa terbit pada Agustus dan Desember 1980. Namun, keduanya segera dilarang beredar di seluruh Indonesia oleh pemerintahan Soeharto sejak 29 Mei 1981. Alasan yang ditimpakan: mengandung ajaran terlarang, yakni “pertentangan kelas”. Tahun 1985, Jejak Langkah dan Sang Pemula diterbitkan. Keduanya juga dilarang sejak 1 Mei 1986. Selanjutnya diterbitkan Gadis Pantai tahun 1987, Rumah Kaca, dan Hikayat Siti Mariah pada April 1988, yang kelak semuaya dilarang.
“Sudah saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sudah saya punya apa yang ingin saya punya,” ujar Pram dua bulan sebelum meninggal, 30 April 2006.
Penulis: Bondhan Wibisono