Dari Kota Seribu Pohon Jati ke Jakarta, Refleksi Hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku pembuka. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)
0 Komentar

Selama dalam penjara, Pram menulis sejumlah novel dan cerpen, seperti Perburuan dan Keluarga Gerilya. Karya-karya itu, berkat bantuan Prof. Resink, dapat diseludupkan dan disiarkan di pelbagai majalah, di antaranya Mimbar Indonesia dan Siasat.Pram dibebaskan pada 18 Desember 1949.

Dalam Pusaran Politik

Tak lama setelah dibebaskan, Pram menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka untuk karyanya Perburuan. Tanggal 15 Januari 1950 ia menikah dengan Arafah Iljas, anggota Palang Merah. Mei 1950, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai penyunting di bagian sastra Indonesia modern, dan pernah pula menjadi redaktur majalah anak-anak, Kunang-Kunang.

Dua hari setelah menjadi redaktur Balai Pustaka, Pram terpaksa pulang ke Blora karena ayahnya sakit keras dan kemudian wafat. Peristiwa ini ia tuangkan dalam roman Bukan Pasarmalam. Januari 1952, Pram mendirikan agensi kesusastraan bernama L & F Acy Duta, tapi tidak bernapas panjang. Lalu pada September 1952, Pram bersama Basuki Resobowo mendirikan Gelanggang Kesenian, sebuah badan kesusastraan.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Mei 1953, Pram melawat ke Belanda untuk belajar atas biaya Sticusa (Stichtung voor Culturele Samenwerking, Yayasan Kerja Sama Kebudayaan Belanda-Indonesia). Selama di Belanda, ia menulis novel Midah Si Manis Bergigi Emas. Kumpulan cerpennya yang berjudul Cerita dari Blora, menerima hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kesenian Nasional (BMKN). Januari 1954, ia kembali ke Indonesia.

L & F Acy Duta yang telah mati tidak dapat dihidupkan lagi. Hal ini menyebabkan kondisi ekonomi keluarganya terpuruk. Pram terpaksa meninggalkan istrinya setelah empat kali diusir. Awal 1950, ia menikah lagi dengan Maimunah Thamrin, keponakan Mohammad Husni Thamrin.

Menurut Hong Liu dalam artikel “Pramoedya Ananta Toer and China: The transformation of a cultural intellectual”, Indonesia, No. 61 (1996: 119-43), pada Oktober 1956 Pram melawat ke Beijing atas undangan Lembaga Sastrawan Cina Pusat untuk menghadiri peringatan ke-20 meninggalnya pujangga Lu Xun. Di Cina, Pram memperoleh pengertian yang agak luas tentang pentingnya faktor rakyat jelata dalam pembinaan bangsa yang kuat-padu bersama dengan pembangunan yang menyeluruh. Ia mulai curiga terhadap kemajuan sosio-ekonomi Barat.

Februari 1957, Pram menulis esai “Jambatan Gantung dan Konsepsi Presiden” di Harian Rakjat untuk mendukung gagasan Presiden Sukarno perihal Demokrasi Terpimpin. Lalu bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, Pram membentuk delegasi seniman agar menyatakan sikap mendukung cita-cita Demokrasi Terpimpin. Delegasi seniman yang terdiri dari 67 orang itu menghadap presiden pada Maret 1957. Kemudian pada 28 Desember 1957, Pram dilantik sebagai anggota penasihat Kementerian Petera (Pengerahan Tenaga Rakyat).

0 Komentar