Dari Kota Seribu Pohon Jati ke Jakarta, Refleksi Hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku pembuka. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)
0 Komentar

Percikan Api Revolusi

Agustus 1945, ketika bermukim sejenak di Kewedanaan Ngadiluwih, Kediri, ia mendengar dari bekas anggota Pembela Tanah Air mengenai kemerdekaan Indonesia. Pram segera menuju ke Surabaya dan kembali ke Jakarta setelah sebelumnya singgah ke Blora–menyaksikan kota yang dulunya mati karena pendudukan Jepang, kini tiba-tiba hidup kembali.

Oktober 1945, Pram menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat dan ditempatkan di Cikampek dalam kesatuan Banteng Taruna (Resimen 6) sebagai prajurit II. Dalam waktu singkat ia naik pangkat menjadi “sersan mayor”.

Menurut A. Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997: 19-25), pada pertengahan 1946 Pram menjadi perwira persuratkabaran dengan pangkat letnan dua, dan memimpin pasukan yang terdiri dari 60 orang prajurit. Garis depan mereka berpusat di Cibarusa, Klender, Bekasi, Cakung, Kranji, Lemah Abang, Krawang, dan Cileungsi, sementara markas besarnya di Cikampek.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Selama bertugas di Cikampek, ia menulis novel perdananya, Sepuluh Kepala Nica. Sayang, naskah itu hilang. Saat itu, Pram juga bertugas sebagai pembantu militer untuk surat kabar Merdeka di Jakarta. Suatu ketika, Pram nyaris mati saat kereta api yang ditumpanginya terbalik dan tenggelam dalam lumpur di Purwokerto.

Pram tidak lama menjadi prajurit. Tanggal 1 Januari 1947 ia meninggalkan kesatuannya tanpa menerima gaji yang belum dibayar selama tujuh bulan. Pram muak dengan praktik suap, permusuhan, dan konflik kepentingan di tubuh tentara. Ia lalu kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai redaktur majalah Sadar, yang merupakan edisi Indonesia dari majalah The Voice of Free Indonesia bersama Naipospos.

Pada waktu itulah ia mengarang naskah Di Tepi Kali Bekasiberdasarkan pengalamannya di garis depan. Sebuah fragmen dari cerita itu, yakni Kranji Bekasi Jatuh, telah diterbitkan oleh The Voice of Free Indonesia. Saat itu pula Pram mulai berkenalan dengan H.B. Jassin yang bekerja di Balai Pustaka. Bulan April 1947, Pram menjadi ketua bagian penerbitan Indonesia. Jabatan itu dipegangnya karena ketua bagian sebelumnya ditangkap Nica dengan tuduhan terlibat dalam gerakan bawah tanah.

21 Juli 1947, aksi militer Belanda yang pertama pecah. Semua milik Republik Indonesia di Jakarta dikuasai oleh tentara Belanda. Pram mendapat tugas dari atasannya untuk mencetak dan menyebarkan risalah-risalah dan majalah perlawanan. Ia ditangkap oleh tentara Belanda dengan bukti surat-surat di kantongnya. Pram kemudian disiksa oleh Angkatan Laut Belanda yang terdiri dari orang-orang Belanda totok, Belanda peranakan, dan orang Ambon. Ia dimasukkan ke dalam tahanan tangsi Angkatan Laut di Gunung Sahari, lalu dipindahkan ke tangsi Polisi Militer. Selanjutnya ia dipindahkan ke Pulau Edam.

0 Komentar