Dari Kota Seribu Pohon Jati ke Jakarta, Refleksi Hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku pembuka. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)
0 Komentar

Warsa 1929, Pram masuk sekolah dasar perguruan Budi Utomo, tempat ayahnya menjadi kepala sekolah. Ia tidak menunjukkan kemajuan berarti dalam pelajaran sehingga tiga kali sempat tak naik kelas. Ayahnya masygul. Pram dikeluarkan dari sekolah dan selama setahun ayahnya sendiri yang mengajarnya secara teliti dan keras.

Setahun kemudian Pram masuk sekolah lagi. Sejak itu, prestasinya mulai normal sampai akhirnya lulus pada tahun 1939. Artinya, ia memerlukan waktu sepuluh tahun untuk lulus dari sekolah itu yang umumnya diselesaikan paling lama tujuh tahun.

Selepas itu, Pram tidak sekolah selama satu tahun karena ayahnya menolak keinginannya untuk meneruskan pelajaran ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama pada zaman kolonial Belanda.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Tahun 1940, Pram mulai belajar di Radio Vakschool Surabaya dengan biaya dari hasil usaha ibunya berjualan padi. Sekolah itu dipilihnya karena sejak di sekolah dasar ia banyak mempelajari bidang kelistrikan dari buku-buku pamannya, seorang mekanik yang bekerja di Kaledonia Baru. Pada akhir 1941, ia lulus dari sekolah radio tetapi tidak menerima ijazah. Surat tanda tamat belajar itu mesti dikirim dulu ke Bandung untuk disahkan, tetapi ternyata tidak dikembalikan.

Pram pulang ke Blora sebelum bala tentara Jepang masuk. Pada Mei 1942, ibunya wafat dalam usia 34 tahun. Tak lama setelah itu, ia meninggalkan Blora untuk merantau ke Jakarta dan masuk Taman Siswa. Di sekolah ini ia belajar bahasa Indonesia selama satu tahun. Lewat pelajaran ini, gurunya yang bernama Mara Sutan, menumbuhkan semangat nasionalisme kepada para muridnya. Sore dan malam hari, Pram bekerja sebagai juru tik di Kantor Berita Jepang, Domei.

Februari 1944, Domei menyeleksi para pegawainya yang lulusan sekolah menengah untuk belajar di “Stenografi Tjuo Sangiin”. Pram terpilih untuk belajar selama setahun, dan ia mulai berkenalan dengan berbagai tokoh politik. Setelah itu, ia menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam di Gondangdia (kini menjadi kantor imigrasi)–belajar filsafat, sosiologi, dan psikologi. Di samping itu, ia juga kembali bekerja di Domei, di bagian khusus perkembangan peperangan Cina-Jepang. Lalu pada Juni 1945, Pram meninggalkan Jakarta hendak menjelajahi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

0 Komentar