Dari Kota Seribu Pohon Jati ke Jakarta, Refleksi Hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku pembuka. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)
0 Komentar

Keluarga, kerabat, sejumlah aktivis dan penulis muda, hadir dalam pemakamannya. Mereka sedih dan kehilangan, tapi juga menggalang semangat sembari menyanyikan lagu-lagu perjuangan sebagai ucapan selamat jalan. Mereka menyanyikan “Internationale” dan lagu yang populer dalam masa-masa perjuangan melawan kediktatoran Soeharto: “Darah Juang”.

Keluarga dan Riwayat Pendidikan

Pram lahir di Blora, 6 Februari 1925. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara. Saat dilahirkan, usia kandungan ibunya baru delapan tahun. Ayahnya bernama M. Toer, sedangkan ibunya Saidah.

M. Toer berasal dari keluarga Bupati Kediri. Ia tumbuh dalam kebudayaan Jawa, dan terdidik dalam sekolah Barat. M. Toer pernah menjadi guru di Holand Indische School (HIS) Rembang, dan selepas menikah menjadi kepala sekolah di Perguruan Budi Utomo di Blora. Ia merupakan tokoh sosial-politik setempat dan pernah memegang jabatan yang pernah dipegang Dr. Sutomo yang pindah ke Surabaya. Ia juga pernah menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Blora.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Menurut Pram, ayahnya juga pengarang prosa dalam dalam bahasa daerah dan telah menghasilkan beberapa lagu dalam bahasa Jawa. Di antara karyanya, ada yang menjadi lagu-lagu rakyat. Selain itu, ayahnya pernah mengarang buku teks sekolah dasar yang tidak mengikuti kurikulum pendidikan kolonial. Pada 1930-an, M. Toer menulis dalam majalah dan surat kabar yang diterbitkan di Semarang dan Surabaya. Ia seorang penganut nasionalis kiri yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.

Sedangkan ibunya, Saidah, anak penghulu Kabupaten Rembang dan terdidik dalam Islam pesisir yang menurut Pram: lebih murni ketimbang Islam pedalaman. Saidah pernah belajar di sekolah dasar Belanda, juga di rumah melalui guru-guru Belanda yang didatangkan oleh kakeknya. Ketika berumur 18 tahun, Saidah menikah dengan gurunya: M. Toer–yang ketika itu berumur 32 tahun.

Karena penghasilan suaminya sebagai guru tidak mencukupi, Saidah pun mencari nafkah tambahan. Hal ini menjadi salah satu masalah yang kerap menjadi bahan percekcokan dalam keluarga. Pram begitu prihatin atas kondisi ibunya. Itulah sebabnya, pengaruh ibu sangat besar pada dirinya.

Selain itu, seperti ditulis Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia (2011: 1-22), Pram juga merasa telah terjadi konflik antara dua kebudayaan: Islam pesisir yang dianut ibu, dan Islam pedalaman yang dianut ayah. Di luar itu, terdapat sikap yang sama dalam diri ayah dan ibunya, yakni jiwa patriotik nasionalis kiri. Inilah faktor yang mengikat keduanya. Pram dididik agar menjadi manusia bebas dan tak malu bekerja.

0 Komentar