Dari Kota Seribu Pohon Jati ke Jakarta, Refleksi Hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang melahirkan tetralogi Pulau Buru, dengan Bumi Manusia sebagai buku pembuka. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)
0 Komentar

Saya pembaca Pram sejak zaman Orde Baru, saya juga pernah bertemu Pram. Saat main ke atas rumahnya, saya melihat banyak buku-bukunya Pram bahkan yang sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa.

Saya melihat barang-barang peninggalan Pram bukan hanya mampu menunjukkan segala kerumitan proses kreatif seorang pram sebagai sastrawan, tapi juga memunculkan kesan lain dari seorang Pram.

Saya kenal Pram sebagai seorang penulis, tapi kalau ditelisik dari benda-benda peninggalannya, dia bukan hanya seorang penulis, banyak hal mengejutkan lainnya dari seorang Pram salah satunya dia adalah seorang pencatat, dokumenitator.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Nada bicara Pram tegas. Terkadang dia berapi-api, lalu menyurut sedikit untuk soal-soal yang memedihkan hati dan sepasang mata tuanya ikut merah berkaca-kaca. Gendang telinga pria ini sudah rusak dihantam popor senapan, sehingga membuat orang harus berbicara keras padanya. Dia tuli. Untuk lebih aman, biarkan dia saja yang bercerita. Suaranya lantang, lebih agar dia sendiri bisa mendengar ketimbang tamu-tamunya yang berpendengaran normal.

Di tengah emosi yang campur-aduk dan tak bisa disembunyikannya rasa benci terhadap penguasa Orde Baru yang telah mengirimnya ke Pulau Buru, tanpa pengadilan, dan memaksanya hidup seperti Rubashov, seorang Bolshevik yang dihukum partainya sendiri. Rubashov tak lain tokoh dalam novel Arthur Koestler, Gerhana Tengah Hari. Pram, pria tua itu, menyukai novel tersebut.

Dalam Pram Melawan! Dari Perkara Sex, Lekra, Sampai Proses Kreatif (2011: 143, 374) yang disusun oleh P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, dan Rheinhardt disebutkan, di masa mudanya Pram ternyata pernah belajar mistik. Ketika penyakitnya kian parah, Pram gemar berbicara tentang kematian. Ia acap mengatakan sudah siap dan tak takut mati karena merasa sudah menunaikan segala yang perlu ia kerjakan.

Untuk kematiannya, Pram berpesan: “…Kalau aku mati jangan bikin apa-apa, jangan didoain segala, langsung saja bawa ke krematorium. Bakar di sana. Abunya bawa pulang. Mau dibuang juga terserah. Tapi, kalau bisa, wadahi dan taruh di perpustakaanku.”

Pesan hanya tinggal pesan. Jenazahnya tidak dikremasi, melainkan dikuburkan di TPU Karet Bivak setelah sebelumnya disalatkan.

0 Komentar