Selain di megathrust Selat Sunda, BMKG juga melakukan pemodelan gempa dahsyat di megathrust Mentawai-Siberut dengan skenario guncangan mencapai M8,9.
“Jika terjadi, guncangan itu diprediksi akan berdampak ke Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sebagian Riau, Bengkulu, dan Sumatra Utara, mencapai skala intensitas VII-VIII dengan deskripsi terjadi kerusakan berat,” ungkap Dwikorita.
“Dan ini sudah disampaikan kepada Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Skenario model tsunaminya juga sudah disampaikan. Ketinggiannya bisa lebih dari 3 meter di Pantai Kepualuan Mentawai, Sumatra Barat, dan sebagian Bengkulu dan Sumatra Utara,” jelasnya.
Baca Juga:Kasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka PembunuhanMenteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini Jelasnya
Lalu, bagaimana sebenarnya potensi ancaman megathrust di Indonesia? Kenapa BMKG sampai bersiap siaga hingga menambah peralatan-peralatannya?
Dwikorita menuturkan, kejadian gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Dia pun mengingatkan pentingnya pendekatan mitigasi bencana geohidrometeorologi. Tidak hanya gempa bumi dan tsunami, tetapi juga bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.
Disebutkan, letak Indonesia memang berlokasi di pertemuan 3 lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Selain itu, terdapat 14 segmen sumber gempa subduksi/ megathrust, serta 402 segmen sumber gempa sesar aktif yang sudah teridentifikasi. Juga, masih banyak lagi yang belum teridentifikasi.
“Aktivitas kegempaan yang termonitor BMKG mengalami lompatan. Berdasarkan data aktivitas data gempa jangka panjang, ada pola kejadian gempa di Indonesia terus meningkat setiap tahun,” katanya.
“Rata-rata kejadian gempa di tahun 1990-2008 sekitar 2.254 gempa per tahun. Namun, tahun 2009-2017 meningkat jadi 5.389 kejadian gempa. Kemudian melompat mulai tahun 2018-2019, bahkan 2020 ya, melompat bahkan 2018 itu 12.062, 2019 itu masih 11.731,” ucap Dwikorita.
Lalu, terjadi lonjakan kejadian gempa yang signifikan di tahun 2024. Tercatat ada 29.869 kali kejadian gempa, dengan jumlah alat kurang lebih sama dengan tahun 2023.
“Poinnya di sini memang terjadi tren peningkatan aktivitas kegempaan. Terutama untuk gempa dangkal ini memang meningkat. Juga ada fenomena patahan-patahan aktif di darat semakin banyak yang jadi sumber gempa,” terangnya.
Baca Juga:Pemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS CimancisSlow Living di Kota Salatiga
“Tren gempa merusak di Indonesia terus terjadi. Dan tahun 2024, terjadi 20 kali gempa merusak. Kalau tahun 2018-2023, 119 kali gempa merusak. Jadi tadi, ada sedikit penurunan dari tahun 2020-2023 meski masih 11.000-an, tapi gempa merusaknya semakin meningkat,” papar Dwikorita.