Dengan menukil isi buku Bibliomania, or Book Madness: A Bibliographical Romance karya bibliografer Inggris Thomas Frognall Dibdin, Berry menyebut pada mulanya kebiasaan mengumpulkan buku merupakan hal biasa yang dilakukan para gentlemen di Inggris. Namun, lambat laun kebiasaan tersebut berubah menjadi semacam sikap obsesif untuk mengumpulkan buku terus-menerus. Seringkali buku-buku itu tidak dibaca atau bahkan dilihat kembali. Nahasnya lagi, penimbunan buku-buku tersebut menjadi cara untuk melarikan diri dari hubungan sekitar yang kurang baik.
Dalam laporan Atlas Obscura, Dibdin membagi pengidap masalah tersebut menjadi beberapa bagian: Mereka yang membeli buku edisi pertama; buku edisi asli; buku edisi “Blackletter” atau “Textura”; buku dengan ukuran kertas yang lebih besar; buku cetakan asli yang ujungnya belum dikenakan alat pengikat; buku dengan ilustrasi bergambar; buku yang cetakannya berlapis sutera; buku yang dicetak menggunakan “vellum” atau kertas dari kulit sapi muda.
Menariknya, Dibdin sendiri merupakan orang yang terobsesi dengan kondisi fisik sebuah buku. Dalam suratnya tahun 1815 yang diterbitkan oleh jurnal The North-American Review and Miscellaneous Vol. 2, No. 4, ia tampak begitu intens dan detil dalam menjelaskan mutu cetakan, kualitas kertas, termasuk rapi tidaknya penjilidan buku terkait. Dibdin bahkan turut meminta para pembaca membantunya menyelesaikan satu set volume The Bibliographical Decameron agar kualitas fisik buku tersebut menjadi jauh lebih indah.
Sumbang 13.000 Buku dan Buang Ratusan Buku
Baca Juga:Menteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini JelasnyaPemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS Cimancis
Salah satu kasus penimbunan buku yang cukup menarik pernah diulas dalam artikel Hector Tobar dari Los Angeles Times berjudul “Are You a Book Hoarder? There’s a Word for That”. Tayang pada 24 Juli 2014, laporan tersebut menyoal kisah seorang lelaki tua di Sacramento, Amerika Serikat, bernama Frank Rose yang memiliki sekitar 13.000 buku.
Rose mulai terbiasa membeli buku sejak ia masih bekerja sebagai pegawai negeri. Hal itu ia lakukan agar setelah pensiun, ia dapat menghabiskan waktu untuk membaca buku sesuka hati. “Saya membeli banyak sekali buku, sehingga saya dapat membacanya ketika saya pensiun,” kata Rose kepada Los Angeles Times.