Pengalaman ini, meskipun memperkuat keahliannya dalam strategi dan taktik, juga berpotensi menciptakan kecenderungan untuk melihat dunia melalui lensa yang “sempit” dan penuh kontrol.
Dalam konteks kepemimpinan politik, hal ini dapat berimplikasi pada gaya kepemimpinan panoptikon, di mana pemimpin merasa perlu mengawasi dan mengontrol segala aspek untuk menjaga stabilitas.
Tak sepenuhnya keliru memang, tetapi membuat manuver dan kebijakan krusial dan strategis bisa berpotensi kehilangan momentum tepat untuk tujuan yang terkait kemaslahatan rakyat.
Baca Juga:Menteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini JelasnyaPemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS Cimancis
Kedua, keputusan untuk menunjuk menteri yang dianggap sebagai loyalis, seperti Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Prasetyo Hadi sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), dapat dilihat sebagai cerminan dari kebutuhan untuk memastikan lingkungan yang dapat dikendalikan.
Dalam teori psikologi kepemimpinan, hal ini dikenal sebagai kebutuhan untuk mengurangi ambiguitas dan ketidakpastian, yang sering kali muncul dari ketakutan terhadap pengkhianatan atau disloyalitas.
Prabowo mungkin merasa lebih nyaman dengan orang-orang yang ia percaya sepenuhnya, meskipun keputusan ini dapat mengorbankan kompetensi dan efisiensi pemerintahan.
Ketiga, catatan Soe Hok Gie tentang Prabowo muda yang “kehilangan horison romantiknya” juga menambahkan lapisan lain pada analisis ini.
“Kehilangan visi idealistik dapat menyebabkan seorang pemimpin menjadi lebih pragmatis dan berhati-hati terlalu berlebihan dalam mengambil keputusan,” ungkap Heru, Rabu (22/1).
Dalam psikologi, imbuh Heru, hal ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan yang muncul dari pengalaman kegagalan atau kekecewaan. Prabowo, yang pernah menghadapi kekalahan dalam beberapa pemilihan presiden sebelumnya, mungkin mengembangkan kecenderungan untuk bermain aman dan menghindari risiko yang berlebihan.
Keempat, keputusan politik yang dipengaruhi oleh mood personal adalah fenomena yang umum dalam kepemimpinan. Prabowo mungkin menghadapi fluktuasi emosi yang memengaruhi cara pandangnya terhadap situasi tertentu.
Baca Juga:Slow Living di Kota SalatigaSong Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar Surat
Kendati demikian, “mood politik” yang cenderung negatif dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang defensif, sementara mood yang positif dapat mendorong keputusan yang lebih berani.
Dalam konteks 100 hari pertama pemerintahannya, mood politik Presiden Prabowo kiranya bisa menjadi faktor kunci dalam menentukan arah kebijakan dan strategi politik yang diambil.