Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas: Awakening

Pengamat Sosial dan Politik Heru Subagia
Pengamat Sosial dan Politik Heru Subagia
0 Komentar

Tidak ada keterpisahan antara ego pribadi dengan alam semesta maha luas, yang menjangkau dunia atom sampai dengan kumpulan galaksi nun jauh disana.

Spiritualitas membawa orang pada kerendahan hati, sekaligus melepaskan orang dari penderitaan.

Spiritualitas bersifat universal. Ia tidak bisa diikat pada satu agama tertentu. Titik terdalam pemahaman sufi master Islam dengan biksu di Tibet adalah satu dan sama.

Baca Juga:Menteri ATR/BPN Benarkan Pagar Laut Sepanjang 30,16KM di Perairan Tangerang Punya HGB dan SHM, Ini JelasnyaPemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS Cimancis

Titik pencerahan seorang Zen master di Jepang dengan pemahaman pandita Hindu di Bali adalah satu dan sama. Mereka semua sadar, bahwa segalanya itu terhubung dalam satu kesatuan jaringan yang maha luas.

Paradoks

Belajar dari pengalaman Galileo dan Siddharta, serta puluhan ilmuwan lainnya, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semakin dalam seorang ilmuwan melakukan penelitian ilmiah, semakin dalam pula spiritualitasnya.

Ia akan semakin sadar akan tempat manusia di keseluruhan alam semesta ini. Ia akan semakin ilmiah, sekaligus ia akan menjadi semakin spiritual. Inilah paradoks mendasar di dalam kaitan antara sains dan spiritualitas.

Sebaliknya juga sama. Semakin orang mendalami spiritualitasnya, semakin ia terbantu dengan berbagai penemuan ilmiah yang ada. Ia sama sekali tidak merasa terancam dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebaliknya, ia justru semakin diperkaya dengan pemikiran kritis dan fakta-fakta menakjubkan, serta semakin rendah hati di hadapan kemegahan alam yang diungkap oleh ilmu pengetahuan. Semakin spiritual seseorang, maka hidup dan pemikirannya pun akan semakin ilmiah.

Alam semesta secara keseluruhan sudah berusia ribuan milyar tahun. Kecerdasannya sudah terbukti dalam bentuk beragam bintang, planet dan galaksi yang tersebar di jagad raya ini.

Sebagai manusia, peradaban kita baru berkembang kurang lebih 20 ribu tahun. Dalam hitungan alam semesta, kita masih berusia hitungan detik, jika dibandingkan usia alam semesta ini.

Baca Juga:Slow Living di Kota SalatigaSong Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar Surat

Maka adalah masuk akal bagi kita untuk belajar dari alam semesta. Kita perlu untuk hidup sejalan dengan alam, namun bukan alam sebagaimana kita inginkan, melainkan alam sebagaimana adanya.

Alam ini ada nun jauh di sana di antara bintang-bintang. Namun, ia juga ada di depan mata dan di dalam diri kita sendiri, yakni alam semesta kuantum yang berbicara di tingkat atomik dan molekular.

0 Komentar