Pecel lele akhirnya dipilih sebagai penggantinya untuk menghindari kemiripan nama yang bisa berakibat salah persepsi. Akhirnya, nama pecel lele disematkan dan populer hingga kini.
Eksistensi warung pecel lele Lamongan ini mengingatkan pada fenomena warung Tegal atau warteg, rumah makan Padang, dan sate ayam Madura yang ‘menggurita’ di berbagai daerah. Sama dengan yang lainnya, kehadiran warung pecel lele Lamongan seiring dengan tradisi merantau masyarakatnya.
Merantau Karena Kondisi Alam
Banyak warga Lamongan yang memilih merantau karena kondisi alam yang tidak kondusif untuk pertanian. Meskipun dilintasi Bengawan Solo, namun wilayah Lamongan bagian selatan tidak terlalu subur. Saat kemarau sering kekeringaan, saat penghujan kerap kebanjiran.
Baca Juga:Pemerintah Kabupaten Cirebon Tangani Banjir Bandang, Begini Langkah Strategis BBWS CimancisSlow Living di Kota Salatiga
Sehingga ada pameo, “Wong Lamongan nek rendeng gak isa ndodok, nek ketiga gak isa cewok”. Yang terjemahanya, orang Lamongan jika penghujan tidak bisa jongkok (karena banjir), jika kemarau tidak bisa cebok (karena kekurangan air).
Karena kondisi alam di daerah yang tidak produktif, menjadikan masyarakat Lamongan banyak yang memilih merantau ke daerah lain. Maka gelombang migrasi dan urbanisasi orang-orang Lamongan tak terelakkan lagi.
Kompas, edisi 16 Februari 2014 melaporkan, setidaknya ada tiga tahap gelombang orang-orang Lamongan berurbanisasi. Gelombang pertama diperkirakan terjadi pada tahun 1965-1966. Orang-orang Lamongan berurbanisasi ke kota Jakarta menyusul situasi keamanan yang tidak kondusif seiring pembersihan orang-orang kiri di sana. Disusul urbanisasi gelombang kedua pada tahun 1970-an hingga 1980-an.
Gelombang kedua terjadi karena orang-orang Lamongan yang sukses di Jakarta, mengajak kerabat dan tetangga mengikuti jejaknya. Sehingga pada gelombang urbanisasi kedua ini, umumnya mereka datang ke Jakarta untuk magang di warung milik generasi pertama. Setelah cukup modal dan memiliki kemampuan, mereka membuka warung sendiri.
Gelombang terakhir terjadi pascakrisis 1998. Kali ini, bukan hanya kota Jakarta yang menjadi target, para perantau asal Lamongan juga melirik kota-kota besar lain di Indonesia. Saat ini, para perantau asal Lamongan juga ekspansif ke kota-kota kecil. Warung-warung tenda pecel lele Lamongan bisa dijumpai hingga di sudut-sudut kota kecamatan.