Moto yang disampaikan oleh Tirtohadisoerjo pada masa itu sudah dianggap radikal. Bandingkan dengan moto yang digunakan surat kabar lain, Sinar Sumatra “Kekallah keradjaan Wolanda, sampai mati setia kepada keradjaan Wolanda”.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah “pribumi” ‘Indonesia asli’.
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903—1905), Medan Prijaji (1907—1912) dan Putri Hindia (1908). Akhirnya, Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).
Baca Juga:Slow Living di Kota SalatigaSong Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar Surat
Peran Tirto Adhi Soerjo dalam dunia pergerakan terlihat dalam kiprahnya saat pendirian Serikat Dagang Islam yang didirikannya pada tahun 1911 di Bogor. Dalam rangka memperkenalkan ide-idenya untuk memajukan perdagangan bumiputera, Tirto Adhi Soerjo datang ke Surakarta dan di sini ia bertemu dengan Haji Samanhudi, seorang pengusaha batik di kampung Laweyan.
Sarekat Dagang Islam diubah menjadi Sarekat Islam setelah Tjokroaminoto masuk dalam organisasi tersebut atas ajakan H. Samanhudi. Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa dengan bahasanya melalui Medan Prijaji.
Sebagai seorang wartawan ia adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Dia juga dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto ddiangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pramoedya membentuk tokoh rekan historis dalam novel tetraloginya. Minke tampaknya merupakan perwujudan R.M. Tirto Adhi Soerjo, bapak kewartawanan berbahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah menumbuhkan Syarikat Priyayi dalam tahun 1906.
Berhubungan dengan ini, dapat dikatakan bahwa, walaupun ada banyak kemiripan antara watak utama Minke dan R. M. Tirto Adhi Soerjo, mereka tidak keseluruhannya identik. Pramoedya sendiri menegaskan bahwa novel-novelnya tetap harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah (dalam wawancara 17 Juni 1991).
Tokoh utama dalam tetralogi ini bukan Tirto, melainkan Minke sebagai seorang tokoh rekaan yang bersumberkan sejarah. Tentang pengambilan tokoh Tirto, ia menjelaskan sebagai berikut, R. M. Tirto bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi penghambat progres.