R.M. Tirto Adhi Soerjo atau Raden Mas Tirtohadisoerjo, dilahirkan di Blora pada tahun 1880 dan meninggal pada tahun 1918. Sebelumnya ia bernama R.M. Djokomono, mantan murid Stovia yang pada saat itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian berganti nama menjadi Berita Betawi), lalu memimpin Medan Prijaji yang berkantor di Bandung.
Gaya kewartawanan dan metode jurnalistik yang diterapkan oleh R.M. Tirtohadisoerjo mengikuti metode T. Pangemanan dan Razoux Kuhr. Sebagai surat kabar pertama yang bersuara nasional, di dalam surat kabar ini sering muncul kritik-kritik yang ditulis sendiri oleh R.M. Tirto Adhi Soerjo.
Ia adalah mantan siswa STOVIA yang dikeluarkan karena memberikan resep-resep obat yang diberikan kepada orang-orang Tionghoa yang kurang mampu secara gratis, melanggar ketentuan dari sekolah STOVIA yang melarang memberikan resepnya dengan tidak dengan cuma-cuma (gratis).
Baca Juga:Slow Living di Kota SalatigaSong Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar Surat
Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, bekerja sebagai pegawai kantor pajak.
Kakeknya yang bernama R.M.T. Tirtonoto menjabat Bupati Bojonegoro dan pernah menerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Dari neneknya mengalir darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa, pendiri sekaligus pemimpin pertama Kadipaten Mangkunegaran yang merupakan pecahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Lulus sekolah dasar, Tirto Adhi Soerjo merantau ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan studi ke sekolah menengah Hogere Burger School (HBS). Setelah itu, ia diterima di sekolah dokter bumiputra, School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA) di Batavia. Sekolah ini nantinya melahirkan banyak tokoh pergerakan.
Namun, pendidikan Tirto di STOVIA tak sempat tamat karena ia terlanjur menyukai tulis-menulis.
Yang menarik adalah bahwa tulisan-tulisan kritik tersebut ditulis oleh R.M. Tirto Adhi Soerjo dalam bentuk cerita pendek. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.
Dia berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Di bawah kepala surat kabar Medan Prijaji tertulis “orgaan boeat bangsa jang terperintah di Hinia Olanda, tempat memboeka soearanja”.