Ada juga sedikit korelasi di antara siklus bisnis ekonomi BRICS. Meningkatnya harga energi dunia menguntungkan negara-negara penghasil minyak seperti Rusia, Brasil, Iran, dan UEA, sementara memberi tekanan pada negara-negara pengimpor energi seperti Tiongkok dan India. Dinamika ini membuat negara-negara BRICS jauh kurang cocok untuk penyatuan moneter dibandingkan negara-negara GCC.
Yang pasti, pergeseran global bertahap dari dolar sudah berlangsung. Proses ini, meskipun lambat, telah mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir, sebagian didorong oleh semakin seringnya Amerika menggunakan sanksi keuangan. Namun, jika pemerintahan Trump membalas negara-negara BRICS dengan tarif 100%, langkah itu bisa menjadi bumerang, mendorong bank sentral untuk beralih ke yuan, mata uang yang lebih kecil, atau bahkan emas untuk cadangan internasional mereka.
Upaya kikuk Trump untuk menegakkan penggunaan dolar internasional bertentangan dengan tujuan lain yang dinyatakannya, seperti meningkatkan neraca perdagangan AS dengan mendevaluasi dolar terhadap yuan dan mata uang negara lain yang menjalankan surplus bilateral dengan AS. Menurunkan nilai dolar sejalan dengan janji-janji inflasi Trump lainnya, seperti ancamannya untuk melemahkan independensi Federal Reserve dan usulannya untuk melakukan deportasi massal. Namun, mata uang cadangan internasional yang rentan terhadap inflasi dan depresiasi tidaklah menarik. Ancaman tarif Trump tidak akan menyelesaikan kontradiksi tersebut.
Penulis: Aries Armunanto