“MENJADI negara Indonesia. Ini adalah negeri yang begitu hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga sekarang.”
Itulah sepenggal pesan Bung Karno dalam dialognya dengan Cindy Adams, seorang jurnalis asal Amerika Serikat yang berhasil menulis An Autobiography as Told to Cindy Adams, yang kemudian diterjemahkan menjadi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Buku ini begitu spesial karena kisahnya ditulis atas permintaan langsung dari presiden pertama RI itu. Buku itu disusun sejak 1961 hingga 1964, salah satu keberhasilan Cindy Adams, yakni ia mampu membuka figur Bung Karno sebagai seorang pejuang revolusi, orator, negosiator tangguh, nasionalis tulen, hingga pria yang obsesif kepada perempuan elok.
Baca Juga:Slow Living di Kota SalatigaSong Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar Surat
Melansir Encyclopedia, Cindy Adams yang lahir pada 24 April 1930 ini berprofesi sebagai kolumnis, penulis, hingga penyiar berita di berbagai media dan Surat Kabar Amerika Serikat. Di awal karirnya, ia banyak dibantu oleh suaminya, Joey Adams yang merupakan seorang komedian. Melalui Joey-lah, Adams mendapatkan banyak relasi pertemanan dengan jurnalis-jurnalis terkenal.
Di awal karirnya, Adams sering menulis tentang pengalamannya di surat kabar lokal. Titik balik karirnya, tak lain setelah dirinya dipanggil Presiden Soekarno untuk menuliskan tentang biografinya.
Sebelum ditunjuk, Adams pertama kali bertemu Soekarno pada 1961 di Istana Merdeka dalam rangka kunjungan rombongan kesenian Amerika. Kala itu, ia bekerja di North American Newspaper Alliance untuk memberitakan seluruh aktivitas selama kunjungan.
Selepas acara kunjungan tersebut berakhir, Cindy Adams bersama rombongan kembali ke negerinya. Oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, ia tiba-tiba diundang Presiden Soekarno untuk menuliskan kisah hidupnya.
Sejak saat itu, Adams harus memulai kehidupannya yang terbagi antara Jakarta dan New York. Ia membutuhkan waktu tiga tahun untuk menggarap buku pertamanya tersebut, hingga diterbitkan pada 1965 oleh The Bobbs-Merrill Company Inc, New York.
Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak di masa itu. Tidak hanya karena Soekarno dikenal ogah ditanya seputar kehidupan pribadinya oleh jurnalis. Namun karena kala itu hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat sedang berada di titik terendah pasca Amerika Serikat ditinggal John F. Kennedy.