Slow Living di Kota Salatiga

Menikmati keindahan alam di Desa Banyu Putih, Salatiga
Menikmati keindahan alam di Desa Banyu Putih, Salatiga
0 Komentar

BANGUN pagi dengan pemandangan pegunungan, menyeruput kopi hangat, dan sarapan tanpa tergesa adalah gambaran hidup yang mungkin diimpikan banyak orang, terutama oleh mereka yang hidup di kota besar.

Hidup damai minim ketergesaan semacam itu yang kerap disebut slow living kini semakin diminati, tercermin dari ekspresi warganet di media sosial.

Slow living semakin populer karena semakin banyak orang menyadari nilai kehidupan dan waktu yang mereka miliki. Terjadi pergeseran dari terus-menerus melakukan berbagai aktivitas dan mencapai tujuan menjadi hidup lebih penuh perhatian dan selaras dengan keinginan dan nilai-nilai terdalam.

Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington

Menjalani kehidupan yang serba cepat sering kali membuat seseorang hanya punya sedikit atau tidak punya waktu sama sekali untuk diri sendiri dan orang-orang yang dicintainya dan sering kali menjadi penyebab utama tingginya tingkat stres, kecemasan, berbagai masalah kesehatan, dan buruknya kualitas kehidupan sosial dan emosional secara keseluruhan.

Sekilas, slow living dan gaya hidup urban mungkin tampak seperti dua hal yang saling bertentangan. Slow living adalah tentang kesadaran, menikmati momen, terhubung dengan diri sendiri dan dunia, serta hidup sesuai dengan kecepatan Anda sendiri. Kehidupan di kota sering kali justru sebaliknya: serba cepat, kacau, penuh tekanan, dan membingungkan. Kita terus-menerus terburu-buru dan ditarik ke jutaan arah yang berbeda.

Citra visual yang dikaitkan dengan gaya hidup lambat tidak bisa jauh dari citra gaya hidup perkotaan pada umumnya. Gaya hidup lambat sering kali fokus pada alam, alam terbuka, pondok-pondok cantik, jalan-jalan pedesaan, pendakian yang indah, atau sudut-sudut nyaman yang dilengkapi dengan secangkir teh hangat dan buku tua.

Namun, bagaimana jika kita tidak memiliki akses ke pondok pedesaan yang dikelilingi oleh tanaman hijau yang rimbun? Bagaimana jika kita tinggal di tengah kota yang padat dan sibuk? Apakah itu benar-benar berarti kita kehilangan kesempatan untuk menciptakan kehidupan yang lebih lambat, lebih penuh perhatian, dan lebih damai?

Lalu bagaimana jika kita benar-benar suka tinggal di kota? Bagaimana kita bisa menyelaraskannya dengan filosofi slow living?

0 Komentar