Alif menjelaskan bahwa temuan kedua adalah karya seni Yos bukanlah merupakan bentuk ekspresi yang dapat dibatasi menurut instrumen HAM internasional, melainkan bentuk ekspresi sah.
“Pihak Galeri Nasional tidak menyampaikan alasan rasional berkaitan dengan pelarangan dan penundaan pameran. Kita tidak menemukan adanya pelanggaran yang berkaitan dengan peraturan internal di Galeri Nasional Indonesia. Dalam hukum HAM internasional, kebebasan berpendapat memang dapat dibatasi diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik. Namun, ada pembatasannya sesuai Prinsip Siracusa,” ujarnya.
Temuan ketiga adalah terjadi pelanggaran HAM dengan Yos sebagai korbannya. Pembredelan pameran Yos ini telah melibatkan struktur pemerintahan hingga tingkat kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan. Misalnya, Wakil Menteri Kebudayaan seakan-akan resisten terhadap berjalannya pameran dan menganggap salah satu karya dalam lukisan adalah bentuk tindakan asusila yang ditafsirkan sebagai salah satu tokoh nasional.
Baca Juga:Slow Living di Kota SalatigaSong Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar Surat
“Seharusnya pemerintah menggunakan hak positifnya untuk menjamin keberlangsungan pameran tunggal Yos Suprapto,” ujar Alif.
Lebih lanjut, Alfi mengungkapkan temuan keempat, yaitu pembredelan karya Yos merupakan tindakan bertentangan dengan demokrasi. Pada negara demokratis, kritik melalui sarana apapun, termasuk seni adalah sah. Apa lagi, karya seni Yos merupakan bentuk kritik yang berdasarkan pada penelitian ilmiah (scientific) dari kondisi faktual kultur pertanian di beberapa Indonesia.
Temuan kelima adalah tindakan penundaan pameran ini menyebabkan kerugian materiil langsung yang diderita oleh Yos Suprapto sebagai seniman. Alif mengatakan, Yos berhak atas pemulihan efektif sebagai korban pelanggaran HAM dan menuntut ganti kerugian kepada pemerintah yang berkontribusi atas pembredelan.