KALANGAN dunia usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan nilai tukar rupiah masih akan tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“Rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap USD tahun 2025 diprediksi berada di kisaran 15.800-16.350 per dollar USD,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani dalam konferensi pers di kantor Apindo, Kamis (19/12/2024).
“Nilai tukar Rupiah diproyeksikan masih akan tertekan pada paruh pertama 2025 karena kecenderungan penguatan Dolar AS dan akan menguat pada paruh kedua setelah pasar mampu mengantisipasi kebijakan Presiden Trump,” ungkapnya.
Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington
Menurut Shinta, kebijakan devisa hasil ekspor (DHE), local currency transaction (LCT), SRBI, dan SVBI belum dapat menjaga nilai tukar rupiah yang diakibatkan karena Indonesia adalah negara small open economy terutama pada produk minyak, pangan, digital services, dan TIK yang perlu menjadi perhatian khusus.
“Volatilitas nilai tukar Rupiah sangat tinggi sepanjang 2024, sempat terdepresiasi hingga level 16.450 pada Juni 2024 (terburuk sejak pandemi tahun 2020) dan kembali menguat hingga level 15.300 pada kuartal III, namun pada akhir kuartal IV kembali turun ke hingga level 16.000 dan tren pelemahan ini diprediksi akan berlanjut hingga awal tahun depan,” sebut Shinta.
Berdasarkan hasil konsensus pasar di Amerika Serikat dan dengan track record kepemimpinan Donald Trump di periode sebelumnya maka diproyeksikan The Fed akan menurunkan Fed Fund Rate sebanyak 3 kali di tahun 2025 dengan penurunan di kisaran 0,25% 0,5%.
“Maka dari itu, APINDO menilai bahwa sebagai respon atas kebijakan tersebut maka Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga paling banyak 2 kali di kisaran 0,25% 0,50% menjadi berada dalam kisaran 5,25% -5,75% di tahun 2025 nanti,” kata Shinta.
Di sisi lain, tren “China De-risking” membuka peluang strategis bagi Indonesia untuk menarik investasi dan memperluas ekspor dengan menjadi alternatif dalam Global Value Chain (GVC). Konflik dagang AS-China menciptakan tren diversifikasi GVC di mana perusahaan global berupaya untuk mendiversifikasi suplai barang dan jasa dari satu perusahaan atau negara saja untuk menghindari risiko rantai pasok (China De-risking).
“Produk yang mengalami peralihan perdagangan terbesar antara lain semikonduktor, produk elektronik, dan produk-produk terkait alat telekomunikasi Diversifikasi produksi oleh negara-negara maju menciptakan ruang bagi Indonesia untuk memaksimalkan potensi di sektor manufaktur mineral kritis, dan energi hijau,” ujarnya.