Sri Mulyani berulang-ulang mengatakan jika tahun 2025 dunia dan juga Indonesia masih akan berada dalam ekonomi suram. Sri Mulyani bahkan mengatakan jika tahun 2025 adalah tahun yang mengerikan bagi Indonesia.
Sri Mulyani mengaku harus dibayar mahal dari situasi Ketidaknyamanan dunia dan Indonesia. Risiko mahal dan. Menjadi momok bagi pemerintah dan juga masyarakat adalah adanya risiko dari sisi target pendapatan negara yang harus ditanggulangi dengan desain defisit tersebut. Negara harus menutupi defisit APBN di tahun 2025 .
Situasi tegang menyelimuti saat penyerahan daftar isian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) ke kementerian atau lembaga di Istana Negara, Jakarta, kemarin, Selasa (10/12/2024), Sri Mulyani terpaksa mengatakan, defisit APBN 2025 itu senilai Rp 616,2 triliun. Kekurangan anggota tersebut disebabkan target pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun, sedangkan belanja negara dirancang senilai Rp 3.621,3 triliun. Postur APBN 2025 dengan defisit Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.
Rekayasa Kebijakan Mengsengsarakan
Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington
Dikutip dari berbagai sumber, saat ini Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam meningkatkan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio), yang berada di kisaran 10,4 persen pada 2021. Dikatakan jika kondisi tersebut jauh di bawah rata-rata negara OECD sebesar 34 persen. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kepatuhan pajak yang rendah, ekonomi informal yang besar, dan kebocoran akibat korupsi.
Rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang rendah menunjukkan potensi besar yang belum dimanfaatkan. Menurut Bank Dunia (2022), peningkatan rasio ini menjadi 15 persen dapat menambah pendapatan pajak sebesar Rp500 triliun per tahun, cukup untuk mendanai berbagai program pembangunan nasional.
Patokan pertumbuhan ekonomi dari Prabowo di tahun 2025 adalah 7-8 persen. Dalam catatan khusus Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen PDB berpotensi meningkatkan pendapatan pajak sebesar 1,2 persen. Artinya sebenarnya idealnya Prabowo cukup fokus dulu pencapaian pertumbuhan ekonomi, secara linier pencapaian tersebut dengan sendirinya menaikkan pendapatan pajak.
Prabowo lebih dahulu menyediakan dan mengeksekusi infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi. Prabowo lebih dahulu memberikan politic will bagi pelaku ekonomi yang akan berkontribusi bagi perolehan pajak. Bukan justru Prabowo meminta modal dahulu untuk membiayai infrastruktur dan juga organnya. Pelaku dan wajib pajak justru harus menanggung beban ekonomi tinggi dengan kewajiban bayar pajak yang terus naik.