Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember: Daftar Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia Sita Perhatian Publik

Penampakan tumpukan uang di kasus korupsi timah (Ari Sandita/MPI)
Penampakan tumpukan uang di kasus korupsi timah (Ari Sandita/MPI)
0 Komentar

INDONESIA memiliki sejarah kelam terkait kasus-kasus korupsi yang tidak hanya mengakibatkan kerugian materi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara. Di antara sekian banyak kasus yang mencuat, beberapa di antaranya mencatatkan angka kerugian yang sangat fantastis, bahkan hingga ratusan triliun rupiah.

Terbaru, korupsi dalam tata niaga timah mencatatkan rekor sebagai kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Namun, kasus ini hanyalah satu dari deretan kejahatan serupa yang menggambarkan bagaimana sistem dapat disalahgunakan untuk keuntungan pribadi. Berikut adalah lima kasus korupsi terbesar di Indonesia yang telah mencuri perhatian publik.

  • Kasus Korupsi Tata Niaga Timah: Rp300 Triliun: Kasus ini menjadi yang terbesar dalam sejarah korupsi Indonesia, dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp300 triliun. Kejaksaan Agung menetapkan 21 tersangka, termasuk mantan Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, serta pengusaha Harvey Moeis yang bertindak sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin. Korupsi ini melibatkan tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015-2020. Tidak hanya merugikan negara secara finansial, kasus korupsi timah juga menimbulkan dampak ekologis yang luar biasa. Berdasarkan perhitungan ahli lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo, kerugian ekologis akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp271 triliun, mencakup kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp12,1 triliun.
  • Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI): Rp138,4 Triliun: Kasus BLBI bermula dari krisis moneter 1997 yang melumpuhkan ekonomi Indonesia. Dalam situasi itu, Bank Indonesia (BI) menggelontorkan dana sebesar Rp147,7 triliun untuk membantu 48 bank yang hampir kolaps. Namun, sebagian besar dana ini diselewengkan oleh penerimanya. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp138,4 triliun berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2000. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menangani kasus ini sejak 2008. Beberapa nama besar seperti Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), terlibat dalam kasus ini. Meskipun demikian, penanganan kasus ini masih dianggap lamban, menimbulkan kritik dari masyarakat.
  • Kasus Surya Darmadi: Rp78 Triliun: Pemilik PT Darmex Group/ PT Duta Palma, Surya Darmadi, menjadi aktor utama dalam kasus penyalahgunaan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan Indragiri Hulu, Riau. Surya bekerja sama dengan Bupati Indragiri Hulu 1999-2008, Raja Thamsir Rachman, untuk menyerobot ribuan hektare lahan negara. Surya sempat melarikan diri ke luar negeri sebelum akhirnya menyerahkan diri pada Agustus 2022. Pada 2023, ia divonis 15 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda sebesar Rp2 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan kerugian negara yang mencapai Rp78 triliun. Keputusan ini memunculkan kritik karena dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan.
  • Kasus Kondensat Ilegal: Rp37,8 Triliun: Kasus ini melibatkan Honggo Wendratno, Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), yang secara ilegal ditunjuk oleh BP Migas sebagai penjual kondensat bagian negara. Penunjukan ini dilakukan tanpa melalui mekanisme yang seharusnya melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara. Honggo dinilai merugikan negara hingga Rp37,8 triliun dan divonis 16 tahun penjara pada 2020. Namun, hingga kini ia masih berstatus buron. Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan ekonomi kelas kakap.
  • Kasus Asabri: Rp22,78 Triliun: Kasus mega korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) terjadi antara tahun 2012-2019. Manajemen Asabri diketahui melakukan pengaturan transaksi berupa investasi saham dan reksa dana secara tidak transparan, bekerja sama dengan pihak swasta. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp22,78 triliun. Benny Tjokrosaputro, salah satu terdakwa utama, awalnya dituntut hukuman mati. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya memberikan vonis nihil karena ia sebelumnya sudah divonis penjara seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Meski demikian, Benny tetap diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp5,73 triliun.
0 Komentar